Senin, 29 April 2013

SELAMATAN DAN TAHLIL



 SELAMATAN DAN TAHLIL

Dalam kitab " Fatawa" guru kita Syaikh Sa'id Sunbul disebutkan:" Barangsiapa beramal untuk dirinya sendiri, kemudian berkata:" Ya Allah swt, jadikan pahalanya untuk si fulan" , maka pahala itu sampai kepada si fulan, baik apakah si fulan masih hidup atau sudah mati, baik apakah amal itu bersifat komplemen atau mandiri.
Sementara prilaku orang – orang yang tengelam dalam cintanya kepada Rasulullah saw, yang selalu memulai semua  dengan berniat memberikan pahalanya kepada Rasulullah saw, kemudian jika amal itu disedekahkan kepada Rasulullah saw maka Rasulullah saw akan menerima sedekah itu menurut asumsi sedekah, meki tanpa memberikan benda apapun. Rasulullah saw pun akan sangat bergembira dengan sedekah seperti itu. Maka orang – orang semacam kita yang selalu berbaur dengan banyak orang, boleh meniru dengan sikap mereka. Yang dilarang dari kasus ini adalah melakukan ibadah fisik untuk menggantikan orang lain.
Ada suatu masalah yang diajukan Syaikh Al Ajhuri. Misalkan saja seseorang memberikan wasiat untuk dibacakan surat Yasin dan Al Mulk setiap hari, dan pahalanya dihadiahkan kepada ruhnya dan bayaran orang yang membaca Al Qur'an itu dibebankan kepada warisannya, maka wasiat itu diangap sah. Dan jika dia tidak meninggalkan kebun, maka upah pembaca itu diambil dari harta warisannya sesuai dengan apa yang mesti diambil dari kebun kurma atau tanah . akan lebih baik jika bayaran pembaca itu diambilkan dari hasil tanah tersebut.
Dan jika seseorang membuat wasiat untuk dibacakan satu juz Al Qur'an di masjid tertentu, maka masjid itu tidak wajib ditentukan, seperti nadzar untuk shalat, kecuali untuk tiga masjid ( Bugyatul Mustarsyidin) [1].
Hukum mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca tahlil, seperti yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat di berbagai tempat. Yaitu membaca Al- Qur'an, shalawat, istighfar, tahlil, dan dzikir lain, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia adalah boleh ( Jaiz ). Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al- Syaukani berkata dalam kitabnya Al – Rasaa'il Al- Salafiyah, halaman 46 :
" Kebiasaan di sebagian negera mengenai perkumpulan atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al Qur'an, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh ( Jaiz ) jika didalmnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan ( secara dzahir)  dari syari'at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah suatu yang haram ( muharram fi nafsih) , apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al Qur'an atau lainya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca  Al Qur'an atau lainya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada bberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti  )  اِقْرَؤُوْ يَس عَلَى مَوْتَاكُمْbacalah surat Yasin kepda orang mati diantara kamu ) . Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama – sama di di dekat mayit atau diatas kuburnya, dan membaca Al Qur'an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah " [2]
        Telah  kita ketahui bersama, bahwa hukum yang berkaitan dengan bacaan-bacaan tersebut apabila bacaannya disampaikan dihadiahkan kepada Mayyit, menurut sebagian besar  (Jumhur) Ulama dan diakui mereka sebagai pendapat yang haq,shahih dan benar adalah bisa sampai kepada mayyit dan mayyitpun dapat mengambil manfaat dari kiriman pahala tersebut  [3].
           Dalam hadits Rasulullah saw disebutkan:
 عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللَّهُ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللَّهِ وَ يَتَدَارَسُوْنَهُ  اِلاََّنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Abu Hurairah r.a berkaya," Rasulullah saw bersabda,"  Tidaklah berkumpul suau kaum di dalam salah satu rumah  Allah SWT, sambil membaca Al Qur'an bersama –sama . kecuali Allahmenurunkn ketenangan hati,  meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para Malaikat , dn Allah emujinya dihadapan makhluk yang ada disisi-Nya”   ( H.R. Ibnu Majah )
       Dan rupanya apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw sudah menjadi salah satu budaya masyarakat Indonesia, apabila ada orang yang meninggal dunia, keluara, handaitaulan, dan relasi berkumpul di rumah duka atau Masjid dan Mushalla terdekat untuk berdo'a bersama – sama, yang berisi bacaan Al – Qur'an, dzikir, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dn lain – lainya. Memohon kepada Allah SWT agar kerabat yang telah dipanggil kehadirat-Nya mendapatkan ampunan dan tempat yang layak disi-Nya serta berbahagia di akam barzakh sana.
Setelah berdo'a shahibul mushibah menyajikan makanan dan minuman ala kadarnya. Biasanya berasal dari hasil sedekah para pelayat yang kemudian dihidangkan kembali dalam bentuk siap saji. Bagi kalangan yang mampu, secara ikhlas tuan rumah menyediakan makanan tersebut atas biaya mereka sendiri, bahkan masih ditambah buah tangan ( madura, berkat ). Semua itu dilakukan sebagai sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada kerabat yang telah meninggal dunia, sekaligus berfungsi sebgai manifestasi dari rasa rasa cinta yang mendalam kepadanya.
Penyelenggaraan do'a bersama itu disebut dengan upacara Tahlil. Walaupun sebenarnya arti tahlil itu adalah bacaan لااله الا الله     . Penyebutan istilah tersebut dalam sastra Arab disebut dengan istilah  ذِ كْرُ اْلجُزْءِ وَاِرَادَةِ الْكُلِّ  ( menyebut sebagian, tapi yang dimaksud adalah seluruhnya ) ; tahlil adalah  sebagian dari beberapa macam dzikir yang dibaca pada acara tersebut  [4]
          Selanjutnya mengenai kegiatan membaca al- Qur’an dzikir dan do’a bersama yang dikemas dalam bentuk “Tahlilan” ini, al- Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukani berkata:” Kebiasaan di sebagian negara mengenai pertemuan di masjid, rumah atau di kubur untuk membaca Al Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia, tidak diragukan lagi hukumnya boleh ( jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan ( secara zhahir) dari syari’at. Kegiatan melaksanakan majlisan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram ( muharramun fi nafsih ), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca al- Qur’an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang di dasarkan pada hadits shahih seperti:’Bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu”.Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin itu dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan membaca Al Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah “ ( Ar- Rasail al salafiyah,46 )
         Dalam hadits dari Abu Sa’id al- Khudzri, Rasulullah Saw bersabda:
لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“ Tidaklah berkumpul suau kaum sambil menyebut asma Allah  Azza wa Jalla kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan memujinya dihadapan makhluk yang ada disisi-Nya” ( Shahih Muslim,4868 )
           Mengenai berdo’a setalah membaca al- Qur’an dan dzikir ( tahlil) bagi Imam Syafi’i r.a itu merupakan satu syarat mutlak dilakukan. Sebagaimana diriwayatkan oleh al- Rabi’ bahwa Imam Syafi’i r.a berkata:” Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah Swt memperkenankan umat Islam berdo’a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia, dan barakah do’a tersebut Insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah Swt. Maha Kuasa memberi pahala kepada orang yang hidup, Allah Swt. Juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaat kepada mayit” ( Diriwayatkan dari  al-Baihaqi dalam kitab Manaqib al-Syafi’i,Juz I,hal.430 )
           Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra.Rasulullah Saw bersabda:
مَامِنْ مَيِّتِ تُصَلِّى عَلَيْهِ اُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يُبَلِّغُوْنَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ اِلاَّ شُفِعُوْا فِيْهِ
“ Seorang mayit yang dishalati oleh seratus muslimin yang sama-sama (berdo’a ) memintakan ampun ( syafaat) baginya tentu permohonan mereka diterima “( Shahih Muslim,1576 )
          Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar r.a. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
وَيَس قَلْبُ الْقُرْأَنِ لاَيَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَالدَّارَ اْلاَخِرَةَ اِلاَّ غُفِرَلَهُ وَاقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ
“ Surat Yaasiin adalah jantung al-Qur’an, tidaklah seorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah Swt. Kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah Surat Yaasiin atas orang – orang yang telah meninggal diantara kamu sekalian” ( Musnad Ahmad bin Hanbal,1941 )
            Adapun asal – usul istilah  “ tujuh hari” ialah mengikuti amal yang dicontohkan shahabat Nabi Saw. Imam Ahmad bin Hanbal berkata dalam kitab az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al- Hawi li al- Fatawi:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلاَشْجَعِىُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ:ٌقَالَ طَاوُسُ اِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامَ
“ Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata:” Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan,ia berkata:”Imam Thawus berkata:” Orang – orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu”( Al- Hawi li al- Fatawi,Juz II,hal 178)
          Imam Suyuthi berkata:” Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari mertupakan kebiasaan yang telah berlaku hingga sekarang  ( zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa shahabat Nabi sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama ( masa shahabat Nabi Saw)’[5]
          Tahlil dengan bacaan-bacaan yang keutamaan fadhilahnya tidak diragukan lagi keagungannya itu dimaksudkan untuk dikirimkan dihadiahkan pahala bacaanya kepada sesama saudara muslim, terlebih lagi kepada kerabat yang telah mendahului kita, dengan harapan mereka mendapatkan rahmat dan berkah dari bacaan-bacaan tersebut yang pada dampak positifnya mereka akan mendapoatkan tambahan kenikmatan dan rahmat di kuburnya atau mendapatkan maghfirah dan Jannatun Naim di hari kiamat nanti.
         Dan Tahlil yang demikian itu, hukumnya  sebagaimana telah kita ketahui tidak bertentangan dengan Agama ( Ad Din) ,justru agamalah lewat Nabi-Nya Muhammad Saw yang mensyari’atkannya.Oleh karena itu, marilah kita terus bertahlil, dalam ziarah-ziarah kita, tidak perlu khawatir jatuh musyrik, toh kita tidak menyembah, mengaungkan, memuja-muja dan meminta-minta kepada mayit yang kita ziarahi,Kita langsung memohon kepada Allah.
9.       Sampainya Pahala pada Mayit
Sebagaimana diterangkan bahwa manusia juga dapat memperoleh pahala amal yang dilakukan orang lain. Sebagai penguat dari penjelasan sebelumnya, tentang sampainya pahala kepada mayit, disini hanya sekedar kami tambah dalil – dalil, baik dari Al- Qur'an maupun dari Al-Hadits disertai pendapat para ahli tafsir . Sifatnya hanyalah menguatkan saja.
Diantara dalil – dalil yang mendasari sampainya pahala kepada mayit anatar lain;
" Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku." ( Q.S.Ibrahim : 40 )
" Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" ( Q.S.Ibrahim : 41 ).
          Dalam menafsikan ayat diatas Syaikh Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al- Baghdadi mengatakan:
       " Ini merupakan do'a memohon ampunan kepada Allah SWT untuk orang – orang mukmin. Sementara Allah SWT tidak akan menolak do'a kekasih-Nya Ibrahim AS. Dalam ayat tersebut terkandung satu kabar gembira yang besar bagi orang – orang mukmin dengan adanya ampunan dari Allah SWT berkat do'a Nabi Ibrahim " ( Tafsir  Al Khazin,Juz IV, hal 50 – 51 )

" Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahKu dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan" ( Q.S.Nuh: 28 ).
Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa Nabi Nuh AS mendo'akan orang – orang mukmin laki – laki dan perempuan agar diampuni dosanya oleh Allah SWT
1 
" Dan ampunilah bapakku, Karena Sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat " ( Asy Syu'ara': 86 ),
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) žwÎ) ª!$# öÏÿøótGó$#ur šÎ7Rs%Î! tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ öNä3t7¯=s)tGãB öä31uq÷WtBur ÇÊÒÈ
" Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal" ( Q.S.Muhammad : 19 ).
          Ayat tersebut menerangkan bahwa orang – orang mukmin laki – laki dan perempuan mendpatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainya. Dalam Tafir Al Khazin dijelaskan:
 Makna ayat  استغفر لذنبك  adalah mohonlah ampunan bagi dosa – dosa keluargamu  dan orang – orang mukmin laki – laki dan perempuan, artinya selain keluargamu. Ini adalah penghormatan dari Allah ' Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi dosa – dosa mereka, sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafaat dan do'anya diterima " ( Tafsir Khazin, Juz VI, hal 180 )[6]
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNåk÷Jyèt7¨?$#ur NåkçJ­ƒÍhèŒ ?`»yJƒÎ*Î $uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJ­ƒÍhèŒ !$tBur Nßg»oY÷Gs9r& ô`ÏiB OÎgÎ=uHxå `ÏiB &äóÓx« 4 @ä. ¤ÍöD$# $oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu
 "Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya " ( Q.S.ath- Thur : 21 ).
Menurut pengertian makna ayat ini anak cucu ( yang beriman)  akan ditingikan derajatnya oleh Allah lantaran derajat yang dimiliki oleh orang tua mereka yang beriman. Dan Allah akan mengumpulkan mereka bersama-sama menjadi satu berada dalam surga. Hal ini disebabkan karena akibat pahala amal-amal kebaikan yang diperoleh bapak –bapak mereka dan bermanfaat pula bagi cucu – cucu mereka itu[ÒÈ
 " (Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,  Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga 'Adn yang Telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,  Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu Maka Sesungguhnya Telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan Itulah kemenangan yang besar" ( Q.S.al Mu'min : 7 – 9 )
Ayat tersebut menerangkan bahwa para malaikat penyangga ' Arasy mendo'kan orang – orang yang beriman, nenek moyang, istri – istri mereka dan keturunannya yang shalih agar diampuni oleh Allah SWT serta dimasukkan kedalam surga-Nya
"  Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Q.S.al Hasyr : 10 )
Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari istighfar yang dibca oleh orang yang masih hidup.
Mengenai sampainya pahala kepada orang yang sudah meninggal ini banyak dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya. Diantaranya adalah:
 اَنَّ  عَا ئِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا سَأَ لَتِ النَّبِىَّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ اَقُوْلُ اِِذَااسْتَغْفَرْتُ ِلاَهْلِ الْقُبُوْرِ قَالَ قُوْلِى اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الدّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ يَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَاِنَّا اِنْ شَاءَ  اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
 "Sesungguhnya Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah saw," Apa yang harus dibaca ketika kami memohon ampun bagi ahli kubur ?" Rasulullah saw menjawab," Ucapkanlah," Semoga Kesejahteraan buat kalian wahai penghuni kubur,dari golongan orang mukmin dan muslim. Semoga  Allah melimpahkan rahmat-Nya bagi orang- orang yang mendahului serta orang – orang yang datang kemudian dari kami. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian" " ( H.R.Muslim,Nasa'i dan Ibnu Majah )
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ  عَا ئِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا  قَالَتِ اَنَ  رَسُوْلَ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى لَيْلَتِهَا مِنْ اَخِرِ اللّيْلِ اِلَى الْبَقِيْعِ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ  دَارَ قَوْمِ مُؤْمِنِيْنَ وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجَّلُوْنَ وَاِنَّا اِنْ شَاءَ  اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ
"Aisyah r.a berkata," Sesungguhnya Rasulullah saw keluar di malam gilirannya di akhir malam ke makam Baqi'. Kemudian Rasulullah saw mengucapkan, Salam sejahtera atas kalian semua wahai ( penghuni ) rumah kaum mukminin. Akan datang janji yang telah diakhirkan kepada kalian semua.  Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Ya Allah, berilah ampunan bagi Ahli Baqi' Al ghargad" ( H.R.Muslim )
           Sabdanya lagi:
عَنْ  بُرَيْدَةَ بْنِ الْخَصِيْبِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ اِذَا خَرَجُوْا اِلَى الْمَقَابِرِ فَكَانَ قَائِلُهُمْ يَقُوْلُ فِى رِوَايَةِ اَبِى بَكْرٍ:   اَلسَّلاَمُ عَلَى اَهْلِ الدّيَارِ وَفِى رِوَايَةِ زُهَيْرٍ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الدّيَارِ   مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ  وَاِنَّا اِنْ شَاءَ  اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ  نََسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيْةَ
"Buraidah bin Khashib r.a berkata," Rasulullah saw mengajari kaum muslimin jika berziarah ke pemakaman. Dalam riwayat Abu Bakar," Salam sejahtera atas engkau sekalian wahai ahli kubur". Sedang menurut riwayat Zuhair, hendaklah mereka mengucapkan ," Salam sejahtera atas engkau sekalian wahai ahli kubur dari golongan mukminin dan muslimin, insya Allah kami akan menyusul kalian. " Kami memohon semoga Allah melimpahkan keselamatan atas kami dan kalian semua" ( H.R.Muslim)
          Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ  فَقَالَ السَّائِلُ: يَارَسُوْلَ اللَّهِ اِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوْتَانَا وَنَحُجُّ عَنْهُمْ وَنَدْعُوْ لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ اِلَيْهِمْ ؟ قَالَ :نَعَمْ  اِنَّهُ لَيَصِلُ اِلَيْهِمْ وَاَنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَايَفْرَحُ اَحَدُكُمْ بِالطَّبْقِ اِذَا اُهْدِىَ اِلَيْهِ 
“ Dari Ana ,bahwa Nabi Saw pernah ditanya,”Wahai Rasulullah ,sesungguhnya aku pernah mensedekahkan orang-orangku yang sudah mati, menghajikan mereka dan mendo’akannya. Apakah semuanya itu dapat sampai kepada mereka ? “ Nabi menjawab:”Ya,bahwa semuanya telah sampai kepada mereka dan mereka sendiri merasa gembira, sebagaimana kegembiraan seorang daripadamu dengan suatu tempat makan ketika dihadiahkan kepada mereka”
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا   اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ  اللَّهِ اِنَّ اُمِّى أُقْتُتِلَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ  تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ.رواه مسلم
" Dari Aisyah,' Bahwasannya ada seorang    laki – laki bertanya kepada Nabi Saw:" Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah.. Apakah ia  mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya ? " Nabi menjawab:" Ya" ( H.R.Muslim )
عَنْ  اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ    اَنَّ رَجُلاً قَالَ  لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اَبِى مَاتَ  وَلَمْ يُوْصِ  اَيَنْفَعُهُ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ.رواه ابن ماجه
" Abu Hurairah r.a berkata," Ada seorang laki – laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW," Ayah saya meninggal dunia dan tidak berwasiat. Adakah beliau akan mendapat kemanfaatan jika saya bersedekah atas namanya?" Nabi menjawab,"Ya" ( H.R.Ibnu Majah)
           Masih banyak hadits – hadits Rasulullah SAW yang menjadi dasar sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia. Dari beberapa hadits diatas sudah cukup kuat untuk menjadi pegangan bahwa hadiah pahala yang ditujukan kepada orang yang telah meninggal dunia akan sampai pada yang dituju.
Memang tidak semua ulama umat Islam sepakat dengan pendapat ini, karena masalah ini adalah masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama yang menyatakan sampai dan ada yang menyatakan tidak sampai. Mereka berpendapat bahwa pengiriman pahala bacaan kepada mayit / roh tidak sampai . Bahkan tidak jarang mereka menuduh orang – orang yang mengamalkan pengiriman pahala, baik melaui tahlil, selamatan,bacaan Al Qur'an dan sebagainya hanyalah ikut – ikutan saja. Kata Drs. Ubaidillah," Satu hal yang belum banyak diketahui kaum Muslimin itu sendiri ialah, bahwa pada umumnya mereka, baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut – ikutan, mereka mengaku BERMADZHAB SYAFI'I. Namun demikian, ironisnya ialah, justru dalam hal amalan TAHlIlAN dan SELAMATAN yang pahalanya dikirimkan kepada mayit ini bertentangan dengan pelbagai pendapat Ulama-Ulama sendiri, kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut maka jumlahnya sangat sedikit dan tentu saja pendapat tersebut dipandang lemah sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur'an ( ayat 39 surat An Najm dan Sunnah Nabi serta Shahabat –shahabatnya), yang mendasari pendapat mereka itu [8].
Pernyataan Drs. Ubaidillah memang benar sekali, bila ia menutip dari pendapat ulama – ulama Syafi'iyah, seperti  pendapat Imam An Nawawi dalam kitab  Syarah Muslim,kitab Takmilatul Majmu', Syarah Muhadzdzab, Al Haitami, dalam kitab Al- Fatawa Al – Kubra Al- Fiqhiyah, Imam Muzani dalam Hamisy Al Um. Imam Al Khazin, dan sebagainya.
 Menurut  para ulama  Syafi'iyah diatas, pengiriman pahala kepada mayit memang tidak sampai. Pendapat yang menyatakan sampai adalah pendapat dari selain madzhab Syafi'i[9]. Bahkan  Muhammad Ahmad Abdissalam menyatakan:
وَالْمَشْهُوْرُ  ِمنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِىِّ وَجَمَاعَةٍ مِنْ اَصْحَابِهِ  أَنَّهُ لاَيَصِلُ اِلَى الْمَيِّتِ  ثَوَابُ قِرَاءَةِ الْقُرْاَنِ ( حكم القراءة للاموات: 18-19 )
" Menurut pendapat yang " Masyhur " dari madzhab Syafi'i, serta segolongan dari Ashab Al- Syafi'i ( pengikut madzhab Syafi'i ), bahwa pahala membaca Al- Qur'an tidak sampai kepada mayit" ( Hukmu Al- Qira'ah li Al-Amwat,18-19 )
         Namun, bagaimanakah permasalahan yang sebenarnya sehubungan dengan pendapat Imam Syafi'i ini ? Terhadap permasalahan  ini, sesungguhnya bila ditelusuri di kalangan Syafi'iyah dalam menyimpulkan pendapat Imam Syafi'i ada beberapa istilah. Seperti Al- Shahih, Al- Azhar, Al- Masyhur, Al- Rajih dan lain sebagainya, yang definisi istilah - istilah tersebut bisa dilihat pada kitab – kitab fiqh Syafi'iyah. Sedangkan maksud pendapat yang masyhur dalam persoalan ini adalah apabila Al- Qur'an tidak dibaca di hadapan mayit dan tidak diniatkan sebagai hadiah kepada orang yang meninggal dunia tersebut. Salah seorang tokoh Syafi'iyah, Syaikh Zakariyah Al- Anshari Al- Syafi'i menerangkan:
اِنَّ مَشْهُوْرَ الْمَذْهَبِ أَىْ فِى تِلاَوَةِ الْقُرْاَنِ مَحْمُوْلٌ عَلَى مَا اِذَا قَرَأَ لاَ بِحَضْرَةِ الْمَيِّتِ وَلَمْ يَنْوِ الثَّوَابَ لَهُ أَوْ نَوَاهُ وَلَمْ يَدْعُ ( حكم الشريعة الاسلامية فى مأتم الاربعين: 43 )
" Sesungguhnya pendapat yang masyhur ( dalam madzhab Imam Syafi'i) mengenai pembacaan Al-Qur'an, apabila tidak dibaca dihadapan mayit,serta pahalanyatidak diniatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak dido'akan" ( Hukmu Al-Syari'ah Al-Islamiyah Fi Ma'tami Al-Arba'in, 43 )
         Kenapa bisa seperti itu ? Hal tersebut karena Imam Syafi'i RA sendiri  berpendapat sunnah membaca Al-Qur'an di dekat mayit. Imam Syafi'i berkata:
وَ يُسْتَحَبُ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ  مِنَ الْقُرْاَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا الْقُرْاَنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا ( دليل الفالحين 6 :103 )
" Disunnahkan membaca sebaian ayat Al-Qur'an di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka ( pelayat ) membaca Al-Qur'an sampai khatam" ( Dalil Al – Falihin,Juz VI,103 )
        Dan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Imam Syafi'i RA berziarah ke makam Laits bin Sa'ad dan membaca Al-Qur'an di makam tersebut.
وَقَدْ تَوَاتَرَ اَنَّ الشَّافِعِىَّ  زَارَ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ وَأَثْنَى خَيْرًا وَقَرَأَ عِنْدَهُ خَتْمَةٌ  وَقَالَ أَرْجُوْ أَنْ تَدُوْمَ فَكَانَ اْلاَمْرُ كَذَلِكَ ( الدخيرة الثمينة: 64 )
" Sudah populer dikethui oleh banyak orang bahwa Imam Syafi'i pernah berziarah ke makam Laits bin Sa'ad. Beliau memujinya, dan membaca Al-Qur'an sekali khatam di dekat makamnya. Lalu beliau berkata," Saya berharap semoga hal ini terus berlanjut dan senantiasa dilakukan" ( Al – Dakhirah Al-Tsaminah,64 )
 Berdasarkan keteraangan diatas menjadi jelas bahwa Imam Syafi'i RA juga berkenan menghadiahkan pahala kepada mayit. Hanya saja harus dibaca di hadapan mayit, atau dido'akan pada bagian akhirnya kalau mayit tidak ada di tempat membaca Al- Qur'an tersebut. Dengan kehendak Allah SWT pahala bacaan tersebut akan sampai kepada mayit  ( Al-Tajrid Li Naf'i  Al –'Abid,Juz 3, hal. 276 )
Mengenai keharusan berdo'a setelah membaca Al-Qur'an atau dzikir ( tahlil ) , bagi Imam Syafi'i RA itu merupakan satu syarat yang mutlak dilakukan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Rabi' bahwa Imam Syafi'i RA berkata:
وَأَمَّا الدُّعَاءُ : فَاِنَّ اللّٰهَ نَدَّبَ الْعِبَادَ اِلَيْهِ وَأَمَرَ يَارَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهِ فَاِذَا أَجَازَ أَنْ يُدْعَى لِلأَخِ حَيًّا جَازَ أَنْ يُدْعَى لَهُ مَيِّتًا وَلَحِقَهُ اِنْ شَاءَ اللَّهُ بَرَكَةُ ذَلِكَ  مَعَ اَنَّ اللَّهَ  وَاسِعٌ لأَنْ يُوْفِيَ الْحَيَّ أَجْرَهُ وَيُدْخِلَ عَلَى الْمَيِّتِ مَنْفَعَتَهُ ( رواه البيهقى فى مناقب الشافعى 1 : 430 ) 
" Tentang do'a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba- hamaba-Nya untuk berdo'a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila  Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo'a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo'a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barakah do'a tersebut insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang hidup, Allah SWt juga maha kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit. ( Diriwayatkan dari Al- Baihaqi dalam Kitab Manaqib Al- Syafi'I, Juz I,hal. 430 )
          Selanjutnya seorang pakat fiqih zaman ini dari Syiria, DR.Mushthafa Al-Bugha menjelaskan pendapat Imam Syafi'i RA tersebut:
وَاِذا اسْتُجِيْبَ الدُّعَاءُ اِسْتَفَادَ الْمَيِّتُ مِنْ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ ( الفقه المنهجى على مذهب اللاءمام الشافعى 1 : 267 )
" Apabila do'a itu telah dikabulkan oleh Allah SWT maka tentu si mayit akan memperoleh manfaat dari pahala bacaan tersebut " ( Al – Fiqh Al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam Al- Syafi'i,Juz I,hal.267 ) [10]
           Dan bagi mereka yang menyatakan , bahwa hadiah pahala kepada orang yang meninggal dunia  tidak sampai, sebab, menurut Drs.Imron Abdul Manan,  ' pada dasarnya manusia di akhirat nanti hanya akan memperoleh buah atau pahala dari amalnya sendiri ketika masih hidup, seperti  firman Allah:
br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
" Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya " ( Q.S.an Najm : 39 )
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
" Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya " ( Q.S.al Mudatsir: 38 ),
 Makna ayat diatas dapat disimpulkan:
-          Bahwa manusia pada dasarnya, tidak akan memperoleh balasan pahala, kecuali pahala dari hasil ushanya sendiri.
-          Mafhumnya, bahwa manusia tidak dpat memperoleh pahala dari hasil amal orang lain.
-          Dengan demikian, maka pengiriman pahala hasil bacaan – bacaan orang – orang hidup kepada orang yang telah meninggal dunia, adlah tidak akan dapat sampai, berdasarkan kepada nash ( ketentuan ayat diatas )[11]
Persoalan ini , menurut K.H.Muhyiddin Abdushomad, sesungguhnya  sudah dijawab tuntas oleh Al- Imam  Syamsuddin Abi Abdillah Ibnu Qayyim Al- Jauziyah lebih dari 600 tahun yang lalu. Beliau berkata:
وَقَوْلُكُمْ أَنَّهُ مُعَارِضٌ بِنَصِّ الْقُرْاَنِ وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى " br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy " اِسَاءَةُ اَدَبٍ فِى اللَّفْظِ وَخَطَأٌ عَظِيْمٌ فِى الْمَعْنَى. وَقَدْ اَعَاذَ اللَّهُ رَسُوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ تُعَارِضَ سُنَّتَهُ لِنُصُوْصِ الْقُرْاَنِ بَلْ تُعَاضِدَهَا وَتُؤَيِّدَهَا ,وَاِنَّمَا يَظُنُّ التَّعَارُضُ مِنْ سُوْءِ الْفَهْمِ  وَهَذِهِ طَرِيْقَةٌ وَخِيْمَةٌ ذَمِيْمَةٌ وَهِيَ رَدُّ السُّنَنِ  الثَّابِتَةِ  بِمَا يُفْهَمُ  مِنْ ظَاهِرِ الْقُرْاَنِ ( الروح: 13 )
" Pendapat yang mengatakan bahwa hadits ( yang menyatakan sampainya hadiah pahala kepada orang yang mati )  itu bertentangan dengan firman Allah SWT (" Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya " ( Q.S.an Najm : 39 ) adalah cerminan dari sikap yang kurang sopan didalam ungkapanya dan salah besar dalam mengartikannya. Allah SWT telah menjaga agar sedikit terjadi kotradiksi antara Hadits dengan Al Qur'an. Bahkan hadits Nabi SAW merupakan penguat ayat –ayat Al-Qur'an. Kalau ada pendapat  yang menyatakan bahwa hadits tersebut bertolak belakang dengan Al Qur'an, maka itu berasal dari buruknya pemahaman. Dan hal itu adalah cara yang tidak baik, yakni menolak Hadits yang sudah jelas dengan zhahir ayat Al-Qur'an ( yang disalah fahami )" ( Al- Ruh,13 )[12]
Berdasarkan ayat diatas mereka mengatakan bahwa bagaimanapun manusia tidak akan memperoleh hadiah pahala amal orang lain yang dikirimkan.
Sayang sekali, menurut Drs. H.Imron Abu Amar, pengertian yang diambil itu mengalami kekeliruan yang tidak dirasa dapat membawa akibat sesat dan menyesatkan ummat.
Adapun sebab – sebab yang menjadikan kekeliruan mereka dalam mengambil pengertian ayat diatas ialah:
1.      Tampak sekali ayat tersebut sudah dipotong pada bagian mukanya, sehingga kelihatan bahwa ada sebagian khithab Allah pada bagian muka ayat ini terbuang. Hal ini membawa akibat bahwa maksud keseluruhan ayat menjadi berkurang bahkan membawa kekeliruan.
2.      Bahwa mereka kelihatan sekali meletakkan ayat tersebut sebagai dasar  hukum menolak hadiah pahala yang dikirimkan orang lain, adalah bukan pada tempatnya. Jelasnya sesaran maksud ayat itu tidak sesuai dengan asbabun nuzulnya.
         Jalan yang sebenarnya di dalam mengambil ayat tersebut sebagai dasar hukum mengenai persoalan ini, haruslah ditarik atau dimulai dari ayat;

"Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa?  Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?  (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,  Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya " ( Q.S.an Najm: 36 -39 )
          Menurut pendapat Ibnu Hazm dalam kitabnya " An- Nasikh Wal- Mansukh" , ayat ini telah dimansukh hukumnya dengan ayat surat Ath-Thur [13].
Ada salah seorang shahabat Nabi , ahli tafsir kenamaan,Ibnu Abbas RA didalam menafsirkan ayat 38 , surat An-Najm, beliau berkata:
وَهَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِى هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ اَيْ وَاِنَّمَا هُوَ فِى صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السّلاَمُ بِقَوْلِهِ "$uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJ­ƒÍhèŒ " فَاُدْخِلَ اْلاَبْنَاءُ فِى الْجَنَّةِ بِصَلاَحِ اْلاَبَاءِ
" Dibatalkan hukumnya dalam syari'at ini, semestinya masih tetap ada dlam kitabnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim ( maksudnya khusus buat kaumnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim  ). Ayat  " Wa-an Laisa Lil- Insaani Illa Maa Sa'aa " telah diganti hukumnya dengan ayat " Wa alhaqna bihim Dzurriyyatahum", maka dimasukkan si anak ke dalam surga dengan kebaikan amal bapaknya " [14]
            Syaikh Ibnu Jarir Ath-Thabari berpendapat," Seorang anak dapat memperoleh syafaat pahala amal bapaknya, meskipun amal yang dimiliki oleh anak tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang dimiliki bapaknya, karena itu si anak berakibat menjadi terangkat derajatnya sesuai dengan derajat bapaknya "  [15].
             Syaikh Sulaiman bin Umar Al- ' Ajili menjelaskan:
قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ وَهَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِى هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ اَيْ وَاِنَّمَا هُوَ فِى صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السّلاَمُ بِقَوْلِهِ "$uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJ­ƒÍhèŒ " فَاُدْخِلَ اْلاَبْنَاءُ فِى الْجَنَّةِ بِصَلاَحِ اْلاَبَاءِ. وَ قَالَ عِكْرِمَةُ اِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ اِبْرَاهِيْمَ وَ مُوسَى عَلَيْهِمَا السّلاَمُ وَاَمَّا هَذِهِ اْلاُمَّةُ فَلَهُمْ مَا سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمْ  غَيْرُهُمْ  ( الفتوحات الالهية,4 : 236 )      
" Dibatalkan  hukumnya dalam syari'at ini, semestinya masih tetap ada dlam kitabnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim ( maksudnya khusus buat kaumnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim  ). Ayat  " Wa-an Laisa Lil- Insaani Illa Maa Sa'aa " telah diganti hukumnya dengan ayat " Wa alhaqna bihim Dzurriyyatahum", maka dimasukkan si anak ke dalam surga dengan kebaikan amal bapaknya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala ( yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari'at Nabi Ibrahim dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain "( Al-Futuhat Al- Ilahiyah,Juz IV, hal.236) [16]    
            Menurut Mufti Mesir Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf:
وَاَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَىbr&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy مُقَيَّدٌ بِمَا اِذَا لَم يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ  وَمَعْنَى اْلاَيَةِ اَنَّهُ لَيْسَ يَنْفَعُ اْلاِنْسَانَ فِى اْلاَخِرَةِ اِلاَّمَا عَمِلَهُ فِى الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ غَيْرُهُ عَمَلاً وَيَهَبَهُ  لَهُ فَاِنَّهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم الشريعة الاسلامية فى مأتم الاربعين: 23-24)
 " Firman Allah SWT Wa-an Laisa Lil- Insaani Illa Maa Sa'aa perlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada si mayyit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut"  ( Hukmu Al-Syari'ah Al-Islamiyah Fi Ma'tami Al-Arba'in,23-24 )[17]
              DR.Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqih kontemporer dari Mesir menjelaskan:
وَلاَيَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy فَاِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ  سَعْيِهِ فَلَوْلاَ اَنَّهُ كَانَ بَارًّا بِهِمْ فِى حَيَاتِهِ مَاتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَلاَ تَطَوَّعُوْا مِنْ اَجْلِهِ فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَاِحْسَانِهِ ( الفقه الواضح,1 : 449 )
" Menghadiahi pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan ayat  وان ليس للانسان الا ماسعى  karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahi pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia  tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya" ( Al- Fiqh Al-Wadlih,Juz I, hal.449 )[18]
           K.H. Salim Bahreisy berpendapat bahwa hadits tersebut [19] menjelaskan apabila seseorang meninggal, ia  tidak lagi dapat beramal baik, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, bahwa amalnya telah terputus. Namun Rasulullah sama sekali tidak menyebut tentang amal yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Hal ini sama halnya dengan orang yang mengatakan," Jika orang telah memasuki usia lanjut, ia tidak lagi dapat bekerja dan karenanya ia tidak memiliki penghasilan. Namun jika ia mempunyai rumah yang bisa disewakan atau mendapat uang pensiun sebagai hasil jerih payahnya selagi usianya masih mudah atau karena ada anak yang membantunya, maka ia masih mempunyai penghasilan. Ungkapan ini sama sekali tidak menutup kemungkinan adanya usaha orang lain seperti teman-teman seperjuangan yang dengan sukarela memberikan bantuan" ( Sampaikah Amalan Orang hidup kepada Orang Mati?,hal.15 )[20]
             Dari uraian diatas, semakin mantaplah keyakinankita semua, bahwa berdasarkan ayat –ayat Al Qur'an, Hadits – hadits Rasulullah SAW dan pendapat para ulama ,tidak ragu –ragu lagi, bahkan tidak ada alasan lagi untuk tidak meyakini bahwa hadiah pahala dari orang – orang yang masih  hidup dapat sampai kepada mayit yang dituju berkat kemurahan dari Allah SWT.
       Semoga dengan uraian ini,kita semakin bersemangat dan keyakinan kita semakin kokoh terhadap sampainya hadiah paha yang kita mohonkan kepada Allah untuk dihadiahkan kepada para leluhur dan saudara kita semua.Amin






       [1] . A. Yasin Asmuni, Tahlil dan Faidah – Faidahnya, PP.Hidayatut Thulab Petuk Semen Kediri, Cetakan I,2007, hal.5 - 8
[2]   Muhyiddin Abdusshama, Tahlil dalam Perspektif Al Qur'an dan Sunnh, PP.Nurul Islam Jember, cetakan VI, 2007, hal. 2
[3]   Hanif Mushlih, Op.Cit, hal.139
[4] . Muhyiddn Abdushomad, Op.Cit, hal.xvii - xviii

[5] M.Afnan Chafidh –A.Ma’ruf Asrori Op.Cit, hal. 238 – 241
[6] Muhyiddn Abdushomad, Op.Cit, hal.21 -22
[7]. Imron Abu Amar, Peringatan Khaul Bukan Dari Ajaran Islam Adalah Pendapat Yang Sesat, Menara Kudus,1995, hal.27 – 28.  
[8]   Baca selengkapnya,Tahlilan dan Selamatan Menurut Madzhab Syafi'i,oleh Drs.Ubaidillah ,CV.Pustaka Abdul Muis Bangil, tanpa keterangan, hal 7 -8
[9]   Baca Keshahihan Dalil Tahlil dari Petunjuk Al Qur'an dan Sunnah, karya K.H.M.Hanif Mushlih Mranggen Semarang, yang diterbitkan oleh Majalah Santri bekerjasama dengan Dinamika Pres Surabaya. Dalam buku ini dikemukakan secara lengkap dalil – dalil dari Al Qur'an dan Sunnah dan pendpat para ulama dari berbagai madzhab.
[10]  Muhyiddn Abdushomad, Op.Cit, hal.17 -20

[11]   Imron Abdul Manan, Kupas Tuntas Masalah Peringatan Haul, Sebuah Upaya Otokritik dari Kalangan Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah,Al Fikar, cetajan 2005, hal. 25
[12] Ibid, hal.6 - 9
[13]  .Imron Abu Amar,Op.Cit,hal. 29 -30
[14]   .Sulaiman al Jama, Tafsir Al Jamal,Juz I,hal.236
[15]   Lihan Tafsir Ath- Thabari, Juz 27 halaman 13 – 15. Pendapat yang sama juga dikemukakan  dalam Tafsir Khazin,Juz IV,hal. 233.
[16] . Baca juga Tafsir Khazin,hal.322 )
[17] Muhyiddn Abdushomad, Op.Cit, hal.14
[18] Muhyiddn Abdushomad, Ibid, hal.17 -20
[19] .Maksudnya hadits          انقطع عمله الا من ثلاث صدفة جارية او علم ينتفع به اوولد صالح يدعزله   اذا مات ابن ادم
[20] . Ibid,hal 16