SELAMATAN DAN TAHLIL
Dalam kitab " Fatawa" guru kita Syaikh Sa'id
Sunbul disebutkan:" Barangsiapa beramal untuk dirinya sendiri, kemudian
berkata:" Ya Allah swt, jadikan pahalanya untuk si fulan" , maka
pahala itu sampai kepada si fulan, baik apakah si fulan masih hidup atau sudah
mati, baik apakah amal itu bersifat komplemen atau mandiri.
Sementara prilaku orang – orang yang tengelam dalam
cintanya kepada Rasulullah saw, yang selalu memulai semua dengan berniat memberikan pahalanya kepada
Rasulullah saw, kemudian jika amal itu disedekahkan kepada Rasulullah saw maka
Rasulullah saw akan menerima sedekah itu menurut asumsi sedekah, meki tanpa
memberikan benda apapun. Rasulullah saw pun akan sangat bergembira dengan
sedekah seperti itu. Maka orang – orang semacam kita yang selalu berbaur dengan
banyak orang, boleh meniru dengan sikap mereka. Yang dilarang dari kasus ini
adalah melakukan ibadah fisik untuk menggantikan orang lain.
Ada
suatu masalah yang diajukan Syaikh Al Ajhuri. Misalkan saja seseorang memberikan
wasiat untuk dibacakan surat
Yasin dan Al Mulk setiap hari, dan pahalanya dihadiahkan kepada ruhnya dan
bayaran orang yang membaca Al Qur'an itu dibebankan kepada warisannya, maka
wasiat itu diangap sah. Dan jika dia tidak meninggalkan kebun, maka upah
pembaca itu diambil dari harta warisannya sesuai dengan apa yang mesti diambil
dari kebun kurma atau tanah . akan lebih baik jika bayaran pembaca itu
diambilkan dari hasil tanah tersebut.
Dan jika seseorang membuat wasiat untuk dibacakan satu juz
Al Qur'an di masjid tertentu, maka masjid itu tidak wajib ditentukan, seperti
nadzar untuk shalat, kecuali untuk tiga masjid ( Bugyatul Mustarsyidin) [1].
Hukum mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca
tahlil, seperti yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat di berbagai tempat.
Yaitu membaca Al- Qur'an, shalawat, istighfar, tahlil, dan dzikir lain, yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia adalah boleh (
Jaiz ). Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al- Syaukani berkata dalam kitabnya
Al – Rasaa'il Al- Salafiyah, halaman 46 :
" Kebiasaan di sebagian negera mengenai perkumpulan
atau pertemuan di Masjid, rumah, di atas kubur, untuk membaca Al Qur'an, yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan
lagi hukumnya boleh ( Jaiz ) jika didalmnya tidak terdapat kemaksiatan dan
kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan ( secara dzahir) dari syari'at. Kegiatan melaksanakan
perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah suatu yang haram ( muharram fi nafsih)
, apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah
seperti membaca Al Qur'an atau lainya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan
pahala membaca Al Qur'an atau lainya
kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada bberapa jenis bacaan yang
didasarkan pada hadits shahih seperti )
اِقْرَؤُوْ يَس عَلَى مَوْتَاكُمْbacalah surat
Yasin kepda orang mati diantara kamu ) . Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut
dilakukan bersama – sama di di dekat mayit atau diatas kuburnya, dan membaca Al
Qur'an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah
" [2]
Telah
kita ketahui bersama, bahwa hukum yang berkaitan dengan bacaan-bacaan
tersebut apabila bacaannya disampaikan dihadiahkan kepada Mayyit, menurut
sebagian besar (Jumhur) Ulama dan diakui
mereka sebagai pendapat yang haq,shahih dan benar adalah bisa sampai
kepada mayyit dan mayyitpun dapat mengambil manfaat dari kiriman pahala
tersebut [3].
Dalam hadits Rasulullah saw
disebutkan:
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ
بُيُوْتِ اللَّهُ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللَّهِ وَ يَتَدَارَسُوْنَهُ اِلاََّنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ
الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Abu Hurairah r.a
berkaya," Rasulullah saw bersabda,"
Tidaklah berkumpul suau kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT, sambil membaca Al Qur'an bersama
–sama . kecuali Allahmenurunkn ketenangan hati,
meliputi mereka dengan rahmat, dikelilingi para Malaikat , dn Allah
emujinya dihadapan makhluk yang ada disisi-Nya” ( H.R. Ibnu Majah )
Dan rupanya apa yang disampaikan oleh
Rasulullah Saw sudah menjadi salah satu budaya masyarakat Indonesia, apabila
ada orang yang meninggal dunia, keluara, handaitaulan, dan relasi berkumpul di
rumah duka atau Masjid dan Mushalla terdekat untuk berdo'a bersama – sama, yang
berisi bacaan Al – Qur'an, dzikir, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dn
lain – lainya. Memohon kepada Allah SWT agar kerabat yang telah dipanggil
kehadirat-Nya mendapatkan ampunan dan tempat yang layak disi-Nya serta
berbahagia di akam barzakh sana.
Setelah
berdo'a shahibul mushibah menyajikan makanan dan minuman ala kadarnya.
Biasanya berasal dari hasil sedekah para pelayat yang kemudian dihidangkan
kembali dalam bentuk siap saji. Bagi kalangan yang mampu, secara ikhlas tuan
rumah menyediakan makanan tersebut atas biaya mereka sendiri, bahkan masih ditambah
buah tangan ( madura, berkat ). Semua itu dilakukan sebagai sedekah yang
pahalanya dihadiahkan kepada kerabat yang telah meninggal dunia, sekaligus
berfungsi sebgai manifestasi dari rasa rasa cinta yang mendalam kepadanya.
Penyelenggaraan
do'a bersama itu disebut dengan upacara Tahlil. Walaupun sebenarnya arti tahlil
itu adalah bacaan لااله الا الله
. Penyebutan istilah tersebut dalam sastra Arab disebut dengan istilah ذِ كْرُ اْلجُزْءِ
وَاِرَادَةِ الْكُلِّ
( menyebut sebagian, tapi yang dimaksud adalah
seluruhnya ) ; tahlil adalah sebagian
dari beberapa macam dzikir yang dibaca pada acara tersebut [4]
Selanjutnya mengenai kegiatan membaca
al- Qur’an dzikir dan do’a bersama yang dikemas dalam bentuk “Tahlilan” ini,
al- Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukani berkata:” Kebiasaan di
sebagian negara mengenai pertemuan di masjid, rumah atau di kubur untuk membaca
Al Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia, tidak
diragukan lagi hukumnya boleh ( jaiz) jika di dalamnya tidak terdapat
kemaksiatan dan kemungkaran, meskipun tidak ada penjelasan ( secara zhahir)
dari syari’at. Kegiatan melaksanakan majlisan itu pada dasarnya bukanlah
sesuatu yang haram ( muharramun fi nafsih ), apalagi jika di dalamnya
diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca al- Qur’an
atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau
lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis
bacaan yang di dasarkan pada hadits shahih seperti:’Bacalah surat
Yasin kepada orang mati diantara kamu”.Tidak ada bedanya apakah
pembacaan surat
Yasin itu dilakukan bersama-sama di dekat mayit atau di atas kuburnya, dan
membaca Al Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid
atau di rumah “ ( Ar- Rasail al salafiyah,46 )
Dalam hadits dari Abu Sa’id al-
Khudzri, Rasulullah Saw bersabda:
لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ
يَذْكُرُوْنَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ
اللَّهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“ Tidaklah berkumpul suau kaum
sambil menyebut asma Allah Azza wa Jalla
kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah akan melimpahkan rahmat
kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan memujinya dihadapan makhluk yang
ada disisi-Nya” (
Shahih Muslim,4868 )
Mengenai berdo’a setalah membaca al-
Qur’an dan dzikir ( tahlil) bagi Imam Syafi’i r.a itu merupakan satu syarat
mutlak dilakukan. Sebagaimana diriwayatkan oleh al- Rabi’ bahwa Imam Syafi’i
r.a berkata:” Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah Swt telah memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya untk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan
kepada Rasul-Nya. Apabila Allah Swt memperkenankan umat Islam berdo’a untuk
saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk
saudaranya yang telah meninggal dunia, dan barakah do’a tersebut Insya Allah
akan sampai. Sebagaimana Allah Swt. Maha Kuasa memberi pahala kepada orang yang
hidup, Allah Swt. Juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaat kepada mayit” ( Diriwayatkan
dari al-Baihaqi dalam kitab Manaqib
al-Syafi’i,Juz I,hal.430 )
Dalam hadits yang diriwayatkan dari
Aisyah ra.Rasulullah Saw bersabda:
مَامِنْ مَيِّتِ
تُصَلِّى عَلَيْهِ اُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يُبَلِّغُوْنَ مِائَةً كُلُّهُمْ
يَشْفَعُوْنَ لَهُ اِلاَّ شُفِعُوْا فِيْهِ
“ Seorang mayit yang dishalati
oleh seratus muslimin yang sama-sama (berdo’a ) memintakan ampun ( syafaat)
baginya tentu permohonan mereka diterima “( Shahih Muslim,1576 )
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar
r.a. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
وَيَس قَلْبُ
الْقُرْأَنِ لاَيَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
وَالدَّارَ اْلاَخِرَةَ اِلاَّ غُفِرَلَهُ وَاقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ
“ Surat Yaasiin adalah jantung al-Qur’an,
tidaklah seorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah Swt. Kecuali Allah
akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah Surat Yaasiin atas orang – orang yang telah
meninggal diantara kamu sekalian” ( Musnad Ahmad bin Hanbal,1941 )
Adapun asal – usul istilah “ tujuh hari” ialah mengikuti amal yang
dicontohkan shahabat Nabi Saw. Imam Ahmad bin Hanbal berkata dalam kitab
az-Zuhd, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al- Hawi li al-
Fatawi:
حَدَّثَنَا هَاشِمُ
بْنُ الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنَا اْلاَشْجَعِىُّ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ:ٌقَالَ
طَاوُسُ اِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا
يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامَ
“ Hasyim bin al-Qasim meriwayatkan kepada
kami, ia berkata:” Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan,ia
berkata:”Imam Thawus berkata:” Orang – orang yang meninggal dunia diuji selama
tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf
mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh
hari itu”( Al- Hawi li al- Fatawi,Juz II,hal 178)
Imam Suyuthi berkata:” Kebiasaan
memberikan sedekah makanan selama tujuh hari mertupakan kebiasaan yang telah
berlaku hingga sekarang ( zaman Imam
Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan
itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa shahabat Nabi sampai sekarang ini, dan
tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama ( masa shahabat
Nabi Saw)’[5]
Tahlil dengan bacaan-bacaan yang
keutamaan fadhilahnya tidak diragukan lagi keagungannya itu dimaksudkan untuk
dikirimkan dihadiahkan pahala bacaanya kepada sesama saudara muslim, terlebih
lagi kepada kerabat yang telah mendahului kita, dengan harapan mereka
mendapatkan rahmat dan berkah dari bacaan-bacaan tersebut yang pada dampak
positifnya mereka akan mendapoatkan tambahan kenikmatan dan rahmat di kuburnya
atau mendapatkan maghfirah dan Jannatun Naim di hari kiamat nanti.
Dan Tahlil yang demikian itu, hukumnya
sebagaimana telah kita ketahui tidak bertentangan dengan Agama ( Ad Din)
,justru agamalah lewat Nabi-Nya Muhammad Saw yang mensyari’atkannya.Oleh karena
itu, marilah kita terus bertahlil, dalam ziarah-ziarah kita, tidak perlu khawatir
jatuh musyrik, toh kita tidak menyembah, mengaungkan, memuja-muja dan
meminta-minta kepada mayit yang kita ziarahi,Kita langsung memohon kepada
Allah.
9.
Sampainya Pahala pada Mayit
Sebagaimana
diterangkan bahwa manusia juga dapat memperoleh pahala amal yang dilakukan
orang lain. Sebagai penguat dari penjelasan sebelumnya, tentang sampainya
pahala kepada mayit, disini hanya sekedar kami tambah dalil – dalil, baik dari
Al- Qur'an maupun dari Al-Hadits disertai pendapat para ahli tafsir . Sifatnya
hanyalah menguatkan saja.
Diantara dalil –
dalil yang mendasari sampainya pahala kepada mayit anatar lain;
"
Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan
shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku." ( Q.S.Ibrahim
: 40 )
"
Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang
mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)" (
Q.S.Ibrahim : 41 ).
Dalam menafsikan ayat diatas Syaikh
Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al- Baghdadi mengatakan:
" Ini merupakan do'a memohon
ampunan kepada Allah SWT untuk orang – orang mukmin. Sementara Allah SWT tidak
akan menolak do'a kekasih-Nya Ibrahim
AS. Dalam ayat tersebut
terkandung satu kabar gembira yang besar bagi orang – orang mukmin dengan
adanya ampunan dari Allah SWT berkat do'a Nabi Ibrahim " ( Tafsir Al Khazin,Juz IV, hal 50 – 51 )
"
Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahKu dengan
beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. dan janganlah
Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan" ( Q.S.Nuh: 28 ).
Dalam
ayat tersebut dijelaskan, bahwa Nabi Nuh AS mendo'akan orang – orang mukmin
laki – laki dan perempuan agar diampuni dosanya oleh Allah SWT
1
"
Dan ampunilah bapakku, Karena Sesungguhnya ia adalah termasuk golongan
orang-orang yang sesat " ( Asy Syu'ara': 86 ),
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr&
Iw
tm»s9Î)
žwÎ)
ª!$#
öÏÿøótGó™$#ur
šÎ7Rs%Î!
tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur
3 ª!$#ur
ãNn=÷ètƒ
öNä3t7¯=s)tGãB
öä31uq÷WtBur
ÇÊÒÈ
"
Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
kamu tinggal"
( Q.S.Muhammad : 19 ).
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang – orang mukmin laki – laki dan
perempuan mendpatkan manfaat dari istighfar orang mukmin lainya. Dalam Tafir Al
Khazin dijelaskan:
Makna ayat استغفر
لذنبك adalah mohonlah ampunan
bagi dosa – dosa keluargamu dan orang –
orang mukmin laki – laki dan perempuan, artinya selain keluargamu. Ini adalah
penghormatan dari Allah ' Azza wa Jalla kepada umat Muhammad, dimana Dia
memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi dosa – dosa mereka,
sedangkan Nabi SAW adalah orang yang dapat memberikan syafaat dan do'anya
diterima " ( Tafsir Khazin, Juz VI, hal 180 )[6]
tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä öNåk÷Jyèt7¨?$#ur NåkçJƒÍh‘èŒ ?`»yJƒÎ*Î $uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJƒÍh‘èŒ !$tBur Nßg»oY÷Gs9r& ô`ÏiB OÎgÎ=uHxå `ÏiB &äóÓx« 4 ‘@ä. ¤›ÍöD$# $oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu‘
"Dan
orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan
apa yang dikerjakannya " (
Q.S.ath- Thur : 21 ).
Menurut pengertian makna ayat ini
anak cucu ( yang beriman) akan
ditingikan derajatnya oleh Allah lantaran derajat yang dimiliki oleh orang tua
mereka yang beriman. Dan Allah akan mengumpulkan mereka bersama-sama menjadi
satu berada dalam surga. Hal ini disebabkan karena akibat pahala amal-amal
kebaikan yang diperoleh bapak –bapak mereka dan bermanfaat pula bagi cucu –
cucu mereka itu[ÒÈ
" (Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy
dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka
beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya
mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala
sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti
jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala, Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke
dalam syurga 'Adn yang Telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang
saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan
mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, Dan peliharalah mereka dari (balasan)
kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan
pada hari itu Maka Sesungguhnya Telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan
Itulah kemenangan yang besar" (
Q.S.al Mu'min : 7 – 9 )
Ayat tersebut menerangkan bahwa
para malaikat penyangga ' Arasy mendo'kan orang – orang yang beriman, nenek
moyang, istri – istri mereka dan keturunannya yang shalih agar diampuni oleh
Allah SWT serta dimasukkan kedalam surga-Nya
" Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Q.S.al Hasyr : 10 )
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
orang mati bisa mendapatkan manfaat dari istighfar yang dibca oleh orang yang
masih hidup.
Mengenai sampainya pahala kepada
orang yang sudah meninggal ini banyak dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya.
Diantaranya adalah:
اَنَّ عَا ئِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا سَأَ لَتِ
النَّبِىَّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ اَقُوْلُ
اِِذَااسْتَغْفَرْتُ ِلاَهْلِ الْقُبُوْرِ قَالَ قُوْلِى اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
اَهْلَ الدّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ يَرْحَمُ اللَّهُ
الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَاِنَّا اِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
"Sesungguhnya Aisyah r.a bertanya
kepada Rasulullah saw," Apa yang harus dibaca ketika kami memohon ampun
bagi ahli kubur ?" Rasulullah saw menjawab," Ucapkanlah," Semoga
Kesejahteraan buat kalian wahai penghuni kubur,dari golongan orang mukmin dan
muslim. Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya bagi orang- orang yang mendahului serta orang – orang yang datang
kemudian dari kami. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian" " ( H.R.Muslim,Nasa'i dan Ibnu
Majah )
Sabda
Rasulullah Saw:
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتِ اَنَ
رَسُوْلَ اللَّهِ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى لَيْلَتِهَا
مِنْ اَخِرِ اللّيْلِ اِلَى الْبَقِيْعِ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ
قَوْمِ مُؤْمِنِيْنَ وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجَّلُوْنَ وَاِنَّا
اِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ
"Aisyah r.a
berkata," Sesungguhnya Rasulullah saw keluar di malam gilirannya di akhir
malam ke makam Baqi'. Kemudian Rasulullah saw mengucapkan, Salam sejahtera atas
kalian semua wahai ( penghuni ) rumah kaum mukminin. Akan datang janji yang
telah diakhirkan kepada kalian semua.
Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Ya Allah, berilah ampunan
bagi Ahli Baqi' Al ghargad" ( H.R.Muslim )
Sabdanya lagi:
عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ الْخَصِيْبِ رَضِىَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ اِذَا خَرَجُوْا اِلَى
الْمَقَابِرِ فَكَانَ قَائِلُهُمْ يَقُوْلُ فِى رِوَايَةِ اَبِى بَكْرٍ: اَلسَّلاَمُ عَلَى اَهْلِ الدّيَارِ وَفِى
رِوَايَةِ زُهَيْرٍ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الدّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَاِنَّا اِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نََسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيْةَ
"Buraidah bin Khashib
r.a berkata," Rasulullah saw mengajari kaum muslimin jika berziarah ke
pemakaman. Dalam riwayat Abu Bakar," Salam sejahtera atas engkau sekalian
wahai ahli kubur". Sedang menurut riwayat Zuhair, hendaklah mereka
mengucapkan ," Salam sejahtera atas engkau sekalian wahai ahli kubur dari
golongan mukminin dan muslimin, insya Allah kami akan menyusul kalian. " Kami memohon
semoga Allah melimpahkan keselamatan atas kami dan kalian semua" ( H.R.Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ فَقَالَ السَّائِلُ: يَارَسُوْلَ اللَّهِ
اِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوْتَانَا وَنَحُجُّ عَنْهُمْ وَنَدْعُوْ لَهُمْ هَلْ
يَصِلُ ذَلِكَ اِلَيْهِمْ ؟ قَالَ :نَعَمْ
اِنَّهُ لَيَصِلُ اِلَيْهِمْ وَاَنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ
كَمَايَفْرَحُ اَحَدُكُمْ بِالطَّبْقِ اِذَا اُهْدِىَ اِلَيْهِ
“
Dari Ana ,bahwa Nabi Saw pernah ditanya,”Wahai Rasulullah ,sesungguhnya aku
pernah mensedekahkan orang-orangku yang sudah mati, menghajikan mereka dan
mendo’akannya. Apakah semuanya itu dapat sampai kepada mereka ? “ Nabi
menjawab:”Ya,bahwa semuanya telah sampai kepada mereka dan mereka sendiri
merasa gembira, sebagaimana kegembiraan seorang daripadamu dengan suatu tempat
makan ketika dihadiahkan kepada mereka”
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ
عَنْهَا اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِىَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللَّهِ اِنَّ اُمِّى أُقْتُتِلَتْ نَفْسُهَا
وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ
تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ.رواه مسلم
" Dari Aisyah,' Bahwasannya ada seorang laki
– laki bertanya kepada Nabi Saw:" Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku
telah meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga
seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah.. Apakah ia mendapat pahala jika saya bersedekah atas
namanya ? " Nabi menjawab:" Ya" ( H.R.Muslim )
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ
اَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اَبِى مَاتَ وَلَمْ يُوْصِ اَيَنْفَعُهُ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهُ قَالَ
نَعَمْ.رواه ابن ماجه
"
Abu Hurairah r.a berkata," Ada
seorang laki – laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW," Ayah saya
meninggal dunia dan tidak berwasiat. Adakah beliau akan mendapat kemanfaatan
jika saya bersedekah atas namanya?" Nabi menjawab,"Ya" ( H.R.Ibnu Majah)
Masih banyak hadits – hadits
Rasulullah SAW yang menjadi dasar sampainya hadiah pahala kepada orang yang
telah meninggal dunia. Dari beberapa hadits diatas sudah cukup kuat untuk
menjadi pegangan bahwa hadiah pahala yang ditujukan kepada orang yang telah
meninggal dunia akan sampai pada yang dituju.
Memang tidak semua ulama umat Islam sepakat dengan
pendapat ini, karena masalah ini adalah masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama yang menyatakan sampai dan
ada yang menyatakan tidak sampai. Mereka berpendapat bahwa pengiriman pahala
bacaan kepada mayit / roh tidak sampai . Bahkan tidak jarang mereka menuduh
orang – orang yang mengamalkan pengiriman pahala, baik melaui tahlil,
selamatan,bacaan Al Qur'an dan sebagainya hanyalah ikut – ikutan saja. Kata
Drs. Ubaidillah," Satu hal yang belum banyak diketahui kaum Muslimin itu
sendiri ialah, bahwa pada umumnya mereka, baik dengan pengertian yang
sebenarnya atau hanya ikut – ikutan, mereka mengaku BERMADZHAB SYAFI'I. Namun
demikian, ironisnya ialah, justru dalam hal amalan TAHlIlAN dan SELAMATAN yang
pahalanya dikirimkan kepada mayit ini bertentangan dengan pelbagai pendapat
Ulama-Ulama sendiri, kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut
maka jumlahnya sangat sedikit dan tentu saja pendapat tersebut dipandang lemah
sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur'an ( ayat 39 surat An Najm dan Sunnah
Nabi serta Shahabat –shahabatnya), yang mendasari pendapat mereka itu [8].
Pernyataan Drs. Ubaidillah
memang benar sekali, bila ia menutip dari pendapat ulama – ulama Syafi'iyah,
seperti pendapat
Imam An Nawawi dalam kitab Syarah
Muslim,kitab Takmilatul Majmu', Syarah Muhadzdzab, Al Haitami, dalam kitab Al-
Fatawa Al – Kubra Al- Fiqhiyah, Imam Muzani dalam Hamisy Al Um. Imam Al Khazin,
dan sebagainya.
Menurut para ulama
Syafi'iyah diatas, pengiriman pahala kepada mayit memang tidak sampai.
Pendapat yang menyatakan sampai adalah pendapat dari selain madzhab Syafi'i[9].
Bahkan Muhammad Ahmad Abdissalam
menyatakan:
وَالْمَشْهُوْرُ ِمنْ
مَذْهَبِ الشَّافِعِىِّ وَجَمَاعَةٍ مِنْ اَصْحَابِهِ أَنَّهُ لاَيَصِلُ اِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ قِرَاءَةِ الْقُرْاَنِ ( حكم
القراءة للاموات: 18-19 )
"
Menurut pendapat yang " Masyhur " dari madzhab Syafi'i, serta
segolongan dari Ashab Al- Syafi'i ( pengikut madzhab Syafi'i ), bahwa pahala
membaca Al- Qur'an tidak sampai kepada mayit" ( Hukmu Al- Qira'ah li
Al-Amwat,18-19 )
Namun, bagaimanakah permasalahan yang
sebenarnya sehubungan dengan pendapat Imam Syafi'i ini ? Terhadap
permasalahan ini, sesungguhnya bila
ditelusuri di kalangan Syafi'iyah dalam menyimpulkan pendapat Imam Syafi'i ada
beberapa istilah. Seperti Al- Shahih, Al- Azhar, Al- Masyhur, Al- Rajih dan
lain sebagainya, yang definisi istilah - istilah tersebut bisa dilihat pada
kitab – kitab fiqh Syafi'iyah. Sedangkan maksud pendapat yang masyhur dalam
persoalan ini adalah apabila Al- Qur'an tidak dibaca di hadapan mayit dan tidak
diniatkan sebagai hadiah kepada orang yang meninggal dunia tersebut. Salah
seorang tokoh Syafi'iyah, Syaikh Zakariyah Al- Anshari Al- Syafi'i menerangkan:
اِنَّ مَشْهُوْرَ الْمَذْهَبِ أَىْ فِى
تِلاَوَةِ الْقُرْاَنِ مَحْمُوْلٌ عَلَى مَا اِذَا قَرَأَ لاَ بِحَضْرَةِ
الْمَيِّتِ وَلَمْ يَنْوِ الثَّوَابَ لَهُ أَوْ نَوَاهُ وَلَمْ يَدْعُ ( حكم
الشريعة الاسلامية فى مأتم الاربعين: 43
)
"
Sesungguhnya pendapat yang masyhur ( dalam madzhab Imam Syafi'i) mengenai
pembacaan Al-Qur'an, apabila tidak dibaca dihadapan mayit,serta pahalanyatidak
diniatkan sebagai hadiah, atau berniat tetapi tidak dido'akan" ( Hukmu
Al-Syari'ah Al-Islamiyah Fi Ma'tami Al-Arba'in, 43 )
Kenapa bisa seperti itu ? Hal tersebut
karena Imam Syafi'i RA sendiri
berpendapat sunnah membaca Al-Qur'an di dekat mayit. Imam Syafi'i
berkata:
وَ يُسْتَحَبُ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ
شَيْئٌ مِنَ الْقُرْاَنِ
وَاِنْ خَتَمُوْا الْقُرْاَنَ كُلَّهُ
كَانَ حَسَنًا ( دليل الفالحين 6 :103 )
"
Disunnahkan membaca sebaian ayat Al-Qur'an di dekat mayit, dan lebih baik lagi
jika mereka ( pelayat ) membaca Al-Qur'an sampai khatam" ( Dalil Al –
Falihin,Juz VI,103 )
Dan banyak riwayat yang menyatakan
bahwa Imam Syafi'i RA berziarah ke makam Laits bin Sa'ad dan membaca Al-Qur'an
di makam tersebut.
وَقَدْ تَوَاتَرَ اَنَّ
الشَّافِعِىَّ زَارَ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ
وَأَثْنَى خَيْرًا وَقَرَأَ عِنْدَهُ خَتْمَةٌ
وَقَالَ أَرْجُوْ أَنْ تَدُوْمَ فَكَانَ اْلاَمْرُ كَذَلِكَ (
الدخيرة الثمينة: 64 )
"
Sudah populer dikethui oleh banyak orang bahwa Imam Syafi'i pernah berziarah ke
makam Laits bin Sa'ad. Beliau memujinya, dan membaca Al-Qur'an sekali khatam di
dekat makamnya. Lalu beliau berkata," Saya berharap semoga hal ini terus
berlanjut dan senantiasa dilakukan" ( Al – Dakhirah Al-Tsaminah,64
)
Berdasarkan keteraangan diatas menjadi jelas
bahwa Imam Syafi'i RA juga berkenan menghadiahkan pahala kepada mayit. Hanya
saja harus dibaca di hadapan mayit, atau dido'akan pada bagian akhirnya kalau
mayit tidak ada di tempat membaca Al- Qur'an tersebut. Dengan kehendak Allah
SWT pahala bacaan tersebut akan sampai kepada mayit ( Al-Tajrid Li Naf'i Al –'Abid,Juz 3, hal. 276 )
Mengenai keharusan berdo'a setelah
membaca Al-Qur'an atau dzikir ( tahlil ) , bagi Imam Syafi'i RA itu merupakan
satu syarat yang mutlak dilakukan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Rabi' bahwa Imam Syafi'i
RA berkata:
وَأَمَّا الدُّعَاءُ : فَاِنَّ اللّٰهَ
نَدَّبَ الْعِبَادَ اِلَيْهِ وَأَمَرَ
يَارَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهِ فَاِذَا
أَجَازَ أَنْ يُدْعَى لِلأَخِ حَيًّا جَازَ أَنْ يُدْعَى لَهُ مَيِّتًا وَلَحِقَهُ
اِنْ شَاءَ اللَّهُ
بَرَكَةُ ذَلِكَ مَعَ اَنَّ
اللَّهَ وَاسِعٌ لأَنْ يُوْفِيَ الْحَيَّ
أَجْرَهُ وَيُدْخِلَ عَلَى الْمَيِّتِ مَنْفَعَتَهُ ( رواه
البيهقى فى مناقب الشافعى 1 : 430 )
" Tentang do'a, maka
sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba- hamaba-Nya untuk berdo'a
kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo'a
untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo'a untuk
saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barakah do'a tersebut insya Allah
akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang
hidup, Allah SWt juga maha kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit. ( Diriwayatkan
dari Al- Baihaqi dalam Kitab Manaqib Al- Syafi'I, Juz I,hal. 430 )
Selanjutnya seorang pakat
fiqih zaman ini dari Syiria, DR.Mushthafa Al-Bugha menjelaskan pendapat Imam
Syafi'i RA tersebut:
وَاِذا اسْتُجِيْبَ الدُّعَاءُ
اِسْتَفَادَ الْمَيِّتُ مِنْ ثَوَابِ الْقِرَاءَةِ (
الفقه المنهجى على مذهب اللاءمام
الشافعى 1 : 267 )
"
Apabila do'a itu telah dikabulkan oleh Allah SWT maka tentu si mayit akan
memperoleh manfaat dari pahala bacaan tersebut " ( Al – Fiqh Al-Manhaji
'ala Madzhab Al-Imam Al- Syafi'i,Juz I,hal.267 ) [10]
Dan bagi mereka yang menyatakan ,
bahwa hadiah pahala kepada orang yang meninggal dunia tidak sampai, sebab, menurut Drs.Imron Abdul
Manan, ' pada dasarnya manusia di
akhirat nanti hanya akan memperoleh buah atau pahala dari amalnya sendiri
ketika masih hidup, seperti firman
Allah:
br&ur }§øŠ©9
Ç`»|¡SM~Ï9
žwÎ)
$tB
4Ótëy™
ÇÌÒÈ
" Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya " (
Q.S.an Najm : 39 )
‘@ä. ¤§øÿtR
$yJÎ
ôMt6|¡x.
îpoY‹Ïdu‘
ÇÌÑÈ
" Tiap-tiap diri bertanggung jawab
atas apa yang Telah diperbuatnya " ( Q.S.al Mudatsir: 38 ),
Makna ayat diatas dapat disimpulkan:
-
Bahwa
manusia pada dasarnya, tidak akan memperoleh balasan pahala, kecuali pahala
dari hasil ushanya sendiri.
-
Mafhumnya,
bahwa manusia tidak dpat memperoleh pahala dari hasil amal orang lain.
-
Dengan
demikian, maka pengiriman pahala hasil bacaan – bacaan orang – orang hidup
kepada orang yang telah meninggal dunia, adlah tidak akan dapat sampai,
berdasarkan kepada nash ( ketentuan ayat diatas )[11]
Persoalan
ini , menurut K.H.Muhyiddin Abdushomad, sesungguhnya sudah dijawab tuntas oleh Al- Imam Syamsuddin Abi Abdillah Ibnu Qayyim Al-
Jauziyah lebih dari 600 tahun yang lalu. Beliau berkata:
وَقَوْلُكُمْ أَنَّهُ مُعَارِضٌ بِنَصِّ
الْقُرْاَنِ وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى
" br&ur }§øŠ©9 Ç`»|¡SM~Ï9 žwÎ) $tB 4Ótëy™
" اِسَاءَةُ اَدَبٍ فِى
اللَّفْظِ وَخَطَأٌ عَظِيْمٌ فِى الْمَعْنَى. وَقَدْ اَعَاذَ اللَّهُ
رَسُوْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَنْ تُعَارِضَ سُنَّتَهُ لِنُصُوْصِ الْقُرْاَنِ
بَلْ تُعَاضِدَهَا وَتُؤَيِّدَهَا ,وَاِنَّمَا يَظُنُّ التَّعَارُضُ مِنْ سُوْءِ
الْفَهْمِ وَهَذِهِ طَرِيْقَةٌ وَخِيْمَةٌ
ذَمِيْمَةٌ وَهِيَ رَدُّ السُّنَنِ
الثَّابِتَةِ بِمَا يُفْهَمُ مِنْ ظَاهِرِ الْقُرْاَنِ
( الروح:
13 )
"
Pendapat yang mengatakan bahwa hadits ( yang menyatakan sampainya hadiah pahala
kepada orang yang mati ) itu
bertentangan dengan firman Allah SWT (" Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya " (
Q.S.an Najm : 39 )
adalah
cerminan dari sikap yang kurang sopan didalam ungkapanya dan salah besar dalam
mengartikannya. Allah SWT telah menjaga agar sedikit terjadi kotradiksi antara
Hadits dengan Al Qur'an. Bahkan hadits Nabi SAW merupakan penguat ayat –ayat
Al-Qur'an. Kalau ada pendapat yang
menyatakan bahwa hadits tersebut bertolak belakang dengan Al Qur'an, maka itu
berasal dari buruknya pemahaman. Dan hal itu adalah cara yang tidak baik, yakni
menolak Hadits yang sudah jelas dengan zhahir ayat Al-Qur'an ( yang disalah
fahami )" ( Al- Ruh,13 )[12]
Berdasarkan ayat diatas mereka mengatakan bahwa
bagaimanapun manusia tidak akan memperoleh hadiah pahala amal orang lain yang
dikirimkan.
Sayang sekali, menurut Drs. H.Imron Abu Amar, pengertian
yang diambil itu mengalami kekeliruan yang tidak dirasa dapat membawa akibat
sesat dan menyesatkan ummat.
Adapun sebab – sebab yang menjadikan kekeliruan mereka
dalam mengambil pengertian ayat diatas ialah:
1. Tampak
sekali ayat tersebut sudah dipotong pada bagian mukanya, sehingga kelihatan
bahwa ada sebagian khithab Allah pada bagian muka ayat ini terbuang. Hal ini
membawa akibat bahwa maksud keseluruhan ayat menjadi berkurang bahkan membawa
kekeliruan.
2. Bahwa
mereka kelihatan sekali meletakkan ayat tersebut sebagai dasar hukum menolak hadiah pahala yang dikirimkan
orang lain, adalah bukan pada tempatnya. Jelasnya sesaran maksud ayat itu tidak
sesuai dengan asbabun nuzulnya.
Jalan yang sebenarnya di dalam
mengambil ayat tersebut sebagai dasar hukum mengenai persoalan ini, haruslah
ditarik atau dimulai dari ayat;
"Ataukah belum diberitakan
kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya " (
Q.S.an Najm: 36 -39 )
Menurut pendapat Ibnu Hazm dalam
kitabnya " An- Nasikh Wal- Mansukh" , ayat ini telah dimansukh
hukumnya dengan ayat surat
Ath-Thur [13].
Ada
salah seorang shahabat Nabi , ahli tafsir kenamaan,Ibnu Abbas RA didalam
menafsirkan ayat 38 , surat
An-Najm, beliau berkata:
وَهَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِى
هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ اَيْ وَاِنَّمَا هُوَ فِى صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ
عَلَيْهِمَا السّلاَمُ بِقَوْلِهِ "$uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJƒÍh‘èŒ " فَاُدْخِلَ اْلاَبْنَاءُ فِى الْجَنَّةِ بِصَلاَحِ
اْلاَبَاءِ
"
Dibatalkan hukumnya dalam syari'at ini, semestinya masih tetap ada dlam
kitabnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim ( maksudnya khusus buat kaumnya Nabi Musa
dan Nabi Ibrahim ). Ayat " Wa-an Laisa Lil- Insaani Illa
Maa Sa'aa " telah diganti hukumnya dengan ayat " Wa
alhaqna bihim Dzurriyyatahum", maka dimasukkan si anak ke dalam
surga dengan kebaikan amal bapaknya " [14]
Syaikh Ibnu Jarir Ath-Thabari
berpendapat," Seorang anak dapat memperoleh syafaat pahala amal bapaknya,
meskipun amal yang dimiliki oleh anak tersebut jauh lebih rendah dibandingkan
dengan yang dimiliki bapaknya, karena itu si anak berakibat menjadi terangkat
derajatnya sesuai dengan derajat bapaknya " [15].
Syaikh Sulaiman bin Umar Al- ' Ajili menjelaskan:
قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِىَ
اللَّهُ عَنْهُ وَهَذَا مَنْسُوْخُ
الْحُكْمِ فِى هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ اَيْ وَاِنَّمَا هُوَ فِى صُحُفِ مُوْسَى
وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السّلاَمُ بِقَوْلِهِ "$uZø)ptø:r& öNÍkÍ5 öNåktJƒÍh‘èŒ " فَاُدْخِلَ اْلاَبْنَاءُ فِى الْجَنَّةِ بِصَلاَحِ
اْلاَبَاءِ. وَ قَالَ عِكْرِمَةُ اِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ اِبْرَاهِيْمَ وَ مُوسَى
عَلَيْهِمَا السّلاَمُ وَاَمَّا هَذِهِ اْلاُمَّةُ فَلَهُمْ مَا سَعَوْا وَمَا
سَعَى لَهُمْ غَيْرُهُمْ ( الفتوحات
الالهية,4 : 236 )
"
Dibatalkan hukumnya dalam syari'at ini,
semestinya masih tetap ada dlam kitabnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim ( maksudnya
khusus buat kaumnya Nabi Musa dan Nabi Ibrahim
). Ayat " Wa-an Laisa
Lil- Insaani Illa Maa Sa'aa " telah diganti hukumnya dengan ayat
" Wa alhaqna bihim Dzurriyyatahum", maka dimasukkan si
anak ke dalam surga dengan kebaikan amal bapaknya. Ikrimah mengatakan bahwa
tidak sampainya pahala ( yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari'at Nabi
Ibrahim dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW
mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang
lain "( Al-Futuhat Al- Ilahiyah,Juz IV, hal.236) [16]
Menurut
Mufti Mesir Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf:
وَاَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَىbr&ur
}§øŠ©9
Ç`»|¡SM~Ï9
žwÎ)
$tB
4Ótëy™ مُقَيَّدٌ بِمَا اِذَا لَم يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ
لِغَيْرِهِ وَمَعْنَى اْلاَيَةِ اَنَّهُ
لَيْسَ يَنْفَعُ اْلاِنْسَانَ فِى اْلاَخِرَةِ اِلاَّمَا عَمِلَهُ فِى الدُّنْيَا
مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ غَيْرُهُ عَمَلاً وَيَهَبَهُ لَهُ فَاِنَّهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم
الشريعة الاسلامية فى مأتم الاربعين: 23-24)
" Firman Allah SWT Wa-an Laisa Lil- Insaani Illa Maa
Sa'aa perlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan
baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut
adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan
yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan
amalnya kepada si mayyit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya,
maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia
tersebut" ( Hukmu Al-Syari'ah
Al-Islamiyah Fi Ma'tami Al-Arba'in,23-24 )[17]
DR.Muhammad Bakar Ismail, seorang
ahli fiqih kontemporer dari Mesir menjelaskan:
وَلاَيَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ
فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ br&ur
}§øŠ©9
Ç`»|¡SM~Ï9
žwÎ)
$tB
4Ótëy™ فَاِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلاَ اَنَّهُ كَانَ بَارًّا
بِهِمْ فِى حَيَاتِهِ مَاتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَلاَ تَطَوَّعُوْا مِنْ اَجْلِهِ
فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَاِحْسَانِهِ (
الفقه الواضح,1 : 449 )
"
Menghadiahi pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan
ayat وان
ليس للانسان الا ماسعى karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan
kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya
ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang
mengasihi dan menghadiahi pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang
dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik
yang dilakukan si mayit semasa hidupnya" ( Al- Fiqh Al-Wadlih,Juz I,
hal.449 )[18]
K.H. Salim Bahreisy berpendapat
bahwa hadits tersebut [19]
menjelaskan apabila seseorang meninggal, ia
tidak lagi dapat beramal baik, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah
SAW, bahwa amalnya telah terputus. Namun Rasulullah sama sekali tidak menyebut
tentang amal yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Hal ini sama
halnya dengan orang yang mengatakan," Jika orang telah memasuki usia
lanjut, ia tidak lagi dapat bekerja dan karenanya ia tidak memiliki
penghasilan. Namun jika ia mempunyai rumah yang bisa disewakan atau mendapat
uang pensiun sebagai hasil jerih payahnya selagi usianya masih mudah atau
karena ada anak yang membantunya, maka ia masih mempunyai penghasilan. Ungkapan
ini sama sekali tidak menutup kemungkinan adanya usaha orang lain seperti
teman-teman seperjuangan yang dengan sukarela memberikan bantuan" ( Sampaikah
Amalan Orang hidup kepada Orang Mati?,hal.15 )[20]
Dari uraian diatas, semakin mantaplah keyakinankita
semua, bahwa berdasarkan ayat –ayat Al Qur'an, Hadits – hadits Rasulullah SAW
dan pendapat para ulama ,tidak ragu –ragu lagi, bahkan tidak ada alasan lagi
untuk tidak meyakini bahwa hadiah pahala dari orang – orang yang masih hidup dapat sampai kepada mayit yang dituju
berkat kemurahan dari Allah SWT.
Semoga dengan uraian ini,kita semakin
bersemangat dan keyakinan kita semakin kokoh terhadap sampainya hadiah paha
yang kita mohonkan kepada Allah untuk dihadiahkan kepada para leluhur dan
saudara kita semua.Amin
[2] Muhyiddin Abdusshama, Tahlil dalam
Perspektif Al Qur'an dan Sunnh, PP.Nurul Islam Jember, cetakan VI,
2007, hal. 2
[7]. Imron Abu Amar, Peringatan Khaul Bukan
Dari Ajaran Islam Adalah Pendapat Yang Sesat, Menara Kudus,1995, hal.27
– 28.
[8] Baca selengkapnya,Tahlilan dan Selamatan Menurut Madzhab
Syafi'i,oleh Drs.Ubaidillah ,CV.Pustaka Abdul Muis Bangil, tanpa
keterangan, hal 7 -8
[9] Baca Keshahihan Dalil Tahlil dari
Petunjuk Al Qur'an dan Sunnah, karya K.H.M.Hanif Mushlih Mranggen
Semarang, yang diterbitkan oleh Majalah Santri bekerjasama dengan Dinamika Pres
Surabaya. Dalam buku ini dikemukakan secara lengkap dalil – dalil dari Al
Qur'an dan Sunnah dan pendpat para ulama dari berbagai madzhab.
[11] Imron Abdul Manan, Kupas Tuntas Masalah
Peringatan Haul, Sebuah Upaya Otokritik dari Kalangan Ulama Ahlussunnah Wal
Jamaah,Al Fikar, cetajan 2005, hal. 25
[15] Lihan Tafsir Ath- Thabari, Juz 27 halaman 13
– 15. Pendapat yang sama juga dikemukakan
dalam Tafsir Khazin,Juz IV,hal. 233.
[19] .Maksudnya
hadits انقطع عمله
الا من ثلاث صدفة جارية او علم ينتفع به اوولد صالح يدعزله اذا مات ابن ادم