GURU DALAM PANDANG IMAM AL GHOZALI
Hakimuddin Humam *
Guru MTs. Ihyaul Islam Bolo Gresik
Pandangan tentang citra guru sebagai orang yang wajib digugu
(dipatuhi) dan ditiru (diteladani) tidak perlu diragukan kebenarannya, konsep
keguruan klasik tersebut mengandaikan
pribadi guru serta perbuatan kependidikan atau keguruan adalah tanpa cela,
sehinga pantas hadir sebagai manusia
model yang ideal. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi, guru wajib
digugu dan ditiru tersebut perlu disikapi secara kritis dan realistis. Benarlah
bahwa guru dituntut menjadi tauladan bagi siswa dan orang-orang sekelilingnya,
tetapi guru adalah orang yang tidak pernah bebas dari cela dan kelemahan,
justru salah satu keutamaan guru
hendaknya diukur dari kegigihan usaha guru yang bersangkutan untuk
menyempurnakan diri dan karyanya. Guru yang sempurna, ideal, selamanya tetap
merupakan suatu cita-cita.
Atas pemikiran di atas, maka upaya menyiapkan tenaga guru merupakan
langkah utama dan pertama yang harus dilakukan. Dalam arti formal tugas
keguruan bersikap profesional, yaitu tugas yang tidak dapat diserahkan kepada
sembarang orang.[1]
Dalam artian, guru tersebut harus mempunyai kemampuan untuk mengerahkan dan
membina anak didiknya sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur dan
bermanfaat menurut pandangan agama.
Pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua (ayah dan ibu),
karena adanya pertalian darah yang secara langsung bertanggung jawab penuh atas
kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses anaknya merupakan sukses
orang tua juga. Orang tua disebut pendidik kodrati. Apabila orang tua tidak
punya kemampuan dan waktu untuk mendidik, maka mereka menyerahkan sebagian
tanggungjawabnya kepada orang lain atau lembaga pendidikan yang berkompetensi
untuk melaksanakan tugas mendidik.
Seorang guru dituntut mampu memainkan peranan dan funginya dalam
menjalankan tugas keguruannya. Dalam Ilmu Pendidikan Islam, membagi tugas guru
ada dua; Pertama, membimbing anak didik mencari pengenalan terhadap
kebutuhan, kesanggupan, bakat, minat dan sebagainya. Kedua, menciptakan
situasi untuk pendidikan, yaitu suatu keadaan dimana tindakan pendidikan dapat
berlangsung dengan baik dan hasil memuaskan.
Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah mudah, karena ia harus
memiliki berbagai kompetensi keguruan. Kompetensi dasar bagi pendidik
ditentukan oleh tingkat kepekaannya dari bobot potensi dasar dan kecenderungan
yang dimilikinya. Pontensi dasar itu adalah milik individu sebagai hasil proses
yang tumbuh karena adanya inayah Allah SWT, personifikasi ibu waktu mengandung
dan situasi yang mempengaruhinya baik langsung maupun melalui ibu waktu
mengandung atau faktor keturunan. Hal inilah yang digunakan sebagai pijakan
bagi individu dalam menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dalam ajaran Islam, guru
mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang amat tinggi. Penghormatan dan
kedudukan yang tinggi ini amat logis
diberikan kepadanya, karena dilihat dari jasanya yang demikian besar dalam
membimbing, mengarahkan, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak dan
menyiapkan anak didik agar siap menghadapi hari depan dengan penuh keyakinan
dan percaya diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka
bumi dengan baik.
Sifat yang dimiliki guru adalah harus memiliki sifat zuhud, yaitu
tidak sesuai dengan pendapat Mohammad Athiyah Al-Abrosyi, salah satu dari
mengutamakan untuk mendapatkan materi dalam tugasnya, melainkan karena
mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT:
Artinya:
“Ikutilah orang
yang tiada minta balasan kepada-Mu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (Q.S.
Yasin: 21)[2]
Ini tidak berarti bahwa seorang guru harus hidup miskin, melarat,
dan sengsara, melainkan boleh ia memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang
lain dan ini tidak berarti pula bahwa guru tidak boleh menerima pemberian atau
upah dari muridnya, melainkan ia boleh saja menerimanya pemberian upah tersebut
karena jasanya dalam mengajar, tetapi semua ini jangan diniatkan dari awal
tugasnya. Pada awal tugasnya hendaklah ia niatkan semata-mata karena Allah.
Dengan demikian, maka tugas guru akan dilaksanakan dengan baik, apakah dalam
keadaan punya uang atau tidak ada uang.
Selanjutnya dijumpai pula pendapat Al-Ghazali bahwa hendaknya
seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan terima
kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhaan Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya. [3]
Mengenai masalah gaji guru, menurutnya, sosok guru ideal adalah yang memiliki
motivasi mengajar yang tulus ikhlas. Dalam mengamalkan ilmunya semata-mata
untuk bekal di akhirat bukan untuk
dunianya, sehingga tidak mengharapkan imbalan, dan menjadi panutan serta
mengajak pada jalan Allah dan mengajar itu harganya lebih tinggi dari pada
harta benda.
Selanjutnya menurut pendapat Zakiah Daradjat, untuk menjadi guru
yang baik yaitu yang dapat memenuhi tanggung jawab yang dibebankan padanya,
salain bertakwa kepada Allah, sehat jasmaninya, baik akhlaknya dan berjiwa
sosial, seorang guru juga dituntut berilmu pengetahuan, yaitu dengan memiliki
ijazah sebagai tanda bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan
dan kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan, yang selanjutnya
harus berusaha mencintai pekerjaannya. Dan kecintaan terhadap pekerjaan guru
akan bertambah besar apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas
ini, karena boleh jadi itu sebenarnya tidak sengaja mengajar, akan tetapi ia
menjadi guru hanyalah untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru
dinilai dari segi material. Apabila yang dipandang material atau hasil langsung
yang diterimanya tidak seimbang dengan beban kerja yang dipikulnya, maka ia
akan mengalami kegoncangan. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap anak didik
akan terpengaruh pula. Hal itupun dapat merusak nilai pendidikan yang diterima
oleh anak didik.[4]
Dengan melihat sekilas pemaparan atau uraian
tentang sosok guru, bahwa sosok guru selalu mengalami perkembangan, begitu juga
sosok guru Al-Ghazali dan Zakiah Daradjat ternyata ada perbedaan dan persamaan
[1] Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan
Guru dan Murid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.
[2] DEPAG RI, Al-Quran dan Terjemahnya,
op. cit., hlm 708.
[3] Al-Ghazali, Terj., Ismail Yakub, Ihya’
Ulumuddin, Cet VI, (Semarang:
C.V. Faizan, 1979), hlm. 214.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 41-42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar