KONSEP KECERDASAN SPRITUAL
Pola
kehidupan yang dibingkai dalam kerangka moderanisme yang berlebihan (overdevelopment) semakin mengambil alih
peran ketuhanan di muka bumi, sehingga menyingkirkan dimensi ilahi dalam
kehidupan. Manusia menjadi sangat rentan dengan polusi jiwa atau krisis
spiritual dalam menghadapi problematika eksistensial hidup. Manusia menjadi
tidak cerdas dalam menyikapi segala permasalahan yang dihadapinya sehingga
segala sesuatu yang ada dihadapannya menjadi tiada mempunyai makna dan arti,
meskipun secara ekonomi mereka berada
pada taraf yang berlebihan. Krisis pemaknaan hidup dan kehidupan dan krisis
kemanusiaan yang melanda manusia seperti di atas membawa menusia kepada kegersangan spiritual
atau ruhaniah dan melunturnya sikap-sikap humanis.
Kecerdasan
spiritual bukan kecerdasan dalam menjalankan agama, karena penekannannya pada
pemaknaan semata. Istilah spiritual tersebut tidaklah merujuk kepada sumber
atau proses hidup (spirit, ruh).
Kecerdasan spiritual bukanlah untuk memenuhi kebutuhan ketuhanan atau
ruhaniyah (spirit), dan bukan pula untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam
aspek nilai-nilai yang merupakan suatu kebutuhan vital yang hanya dapat digali
dari sumber wahyu ilahi. Kecerdasn spiritual ini lebih menekankan pada upaya solutif terhadap segenap kompleks
dan permasalahan eksistensialnya, tanpa harus berhubungan dengan agama atau
nilai-nilai ilahiyah.
Agama dan
spiritual adalah dua hal yang saling melengkapi pada dasarnya tiap agama
monotheis mempunyai dua dimensi keberagaman, yaitu dimensi eksoteris yang
berupa ritus-ritus lahiriyah dan rangkaian doktrin serta norma-norma yang
didasarkan pada wahyu Tuhan dan dimensi
esoteris yang berupa pemaknaan atas hakikat simbol-symbol keagamaan atau
asek-aspek rohaniyah (spiritualitas). Bahkan, dimensi esoteric tersebut lah
yang merupakan jantung agama, karena agama merupakan suatu proses pendakian
spiritual untuk kembali kepada kesejatian. Kematangan beragama eksoterik dengan
ditunjang kematangan spiritualitas (esoterik)
akan membawa pengaruh kepada pandangan menusia terhadap manusia dalam
kehidupan, sehingga mampu menampilkan sosok yang arif dalam menyikapi segala
problematika kehidupan dunia.
Bagi umat
Islam ditemukannya kecerdasan spiritual setidak-tidaknya mampu berkarya khazanah berfikir dan
memberikan motivasi untuk mengaktualitaskan ajaran Islam secara nyata (applicable). Disisi lain hal ini juga
merupakan pintu pembuka kesadaran umat beragama, Islam khususnya, bahwa banyak
pemeluk agama yang hanya terpesona pada masalah ritual agama dan kurang
mempraktikannya dalam kehidupan keseharian. Beragama, sehingga keberagamannya
tidak membawanya kepada kecerdasan spiritual dan ruhaniah.
Danah Zohar
dan Ian Marshall menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Namun
spiritualitas dalam konsepnya itu terbatas pada dorongan kebutuhan untuk
mengajukan pertanyaan “mendasar” atau “pokok”, seperti : mengapa saya
dilahirkan?, apa makna hidup saya?, buat apa saya melanjutkan hidup saat saya
lelah, depresi atau merasa terkalahkan?, apakah yang membuat semua ini
berharga?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat manusia merindukan untuk
menemukan makna dan nilai dari apa yang diperbuat dan dialami, kerinduan untuk
melihat hidup dalam konteks yang lebih lapang dan bermakna serta kerinduan akan
sesuatu yang bisa dicapai, sesuatu yang mampu membawanya melampaui diri dan
keadaan saat ini, sesuatu yang membuat manusia dan perilakunya menjadi
bermakna.
Kerangka
berfikir yang mendasari teori spiritualitas Islam adalah visi filosofis Islam
tentang manusia. Visi fiolosofis tersebut adalah sebagai berikut manusia adalah
makhluk Allah yang memiliki bentuk fisik biologis yang paling sempurna
- Manusia memiliki fitrah religius
- Manusia adalah khalifah Allah dan hamba-Nya
- Manusia adalah makhluk multidimensional yang secara psikologis
memiliki hati (al-qalb), akal (al-aql), jiwa (an-nafs),
dan roh (al-ruh)
Dengan
potensi-potensi tersebut maka untuk menjadi pribadi muslim yang cerdas secara
spiritual dibutuhkan beberapa elemen, antara lain :
- Terwujudnya keseimbangan (equilibrium) antara kebutuhan
fisik-biologis dengan mental religius
- Terhindarnya individu dari penyakit (symptom) hati dan jiwa
- Terciptanya ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup
Untuk
mencapai ketiga hal tersebut maka al-aql dan al-qalb hendaknya
diarahkan kepada dimensi ruhaniah (mencapai sifat-sifat ilahiah atau al-nafs
al-muthma’innah) dengan moralitas terpuji (al-akhlaq al-mahmudah)
sebagai indikatornya, dan menghindarkan diri dari belenggu hawa nafsu yang
secara naluriah memiliki tendensi pada dorongan agresive dan destructive,
dengan moralitas tercela (al-akhlaq al-madzmumah) sebagai indikatornya.
Di sini diri manusia ditingkatkan kedudukannya, sehingga mencapai ketenangan
dan kesempurnaan. Inilah proses perjuangan hidup manusia yang sejati atau
seperti yang disebutkan nabi sebagai jihad yang paling besar (al-jihad
al-akbar).
Untuk
menjadi muslim yang cerdas secara spiritual diperlukan adanya visi dan persepsi
yang jelas bahwa hidup merupakan amanat dan merupakan jembatan emas menuju
keridhaan Allah dan menciptakan keyakinan bahwa mendapatkan karunia dan
keridhaan Allah merupakan tujuan hidup. Kesadaran bahwa manusia adalah milik
dan dari Allah serta akan kembali lagi menuju Allah (inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un) perlu ditanamkan dalam sanubari yang paling dalam. Dengan
kesadaran ini manusia akan merasakan kehadiran Allah, merindukan perjumpaan
dengan Allah, berbuat, bersikap dan bernafas karena Allah swt semata-mata.
Dengan
mengerjakan misi hidupnya yang sesuai dengan fitrahnya atau qudrah
dirinya maka hati (qalb) manusia terselamatkan dari penyakit fikiran,
dan jika hati (qalb) selamat (qalbun salim), ia akan ’melihat’
Tuhannya. Al-Ghazali menjelaskan bahwa satu-satunya perangkat dalam diri
manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah hati (qalb) nya. Qalb (hati)
adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi) yang dapat
tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani.
Konsep
spiritualitas Islam pada dasarnya merupakan penjelasan tentang hubungan hamba
dengan dzat Yang Maha Sejati, dengan melalui pendakian-pendakian spiritual yang
terus-menerus menuju asal segala muasal. Kecerdasan spiritualitas seperti ini merupakan kemampuan manusia untuk
mengenali potensi fitrah dalam dirinya. Fitrah ini adalah akar ilahiyah (original
road) yang Allah swt berikan sejak ditiupkan ruh ke dalam rahim ibu. Dengan
kesadaran yang semakin meningkat ini, akhirnya manusia visi hidup dan pemaknaan
kehidupan terhadap dunia yang penuh arti dan pengharapan, karena perjalanan
kehidupan sejati belum berakhir.
Dengan
demikian adalah sangat tidak mungkin orang yang tidak mengakui adanya Tuhan
dapat menjadi cerdas secara spiritual. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional pada dasarnya hanya menyoroti hubungan dengan sesama manusia (hablun
minannas) yang berdimensi duniawi, sedangkan hal-hal yang terkait dengan
Tuhan (hablun minallah) yang berdimensi ukhrowi belum terjelaskan. Untuk
menjelaskannya secara tuntas diperlukan kecerdasan spiritual karenanya
kecerdasan spiritual lah yang mampu mengoptimalkan kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional seseorang. Dengan kecerdasan spiritual manusia mampu
berfikir secara kreatif, berwawasan ke depan dan mampu membuat aturan-aturan.
Untuk dapat mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional
secara optimal langkah yang tepat adalah dengan memulai mengasah kecerdasan
spiritual. Meskipun demikian kecerdesan spiritual semata-mata tidak akan
membawa kepada pencerahan yang sejati jika nilai-nilai luhur ilahiyah yang
dikemas dalam ajaran agama diabaikan atau bahkan ditinggalkan.
Al-Qur’an
menggambarkan struktur manusia yang terdiri dari : ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs)
dan jasad atau tubuh (al-jism). Dengan struktur yang demikian itu
manusia mempunyai potensi-potensi spiritual untuk menjalin hubungan dengan
Tuhannya, melalui peningkatan dan penyempurnaan. Dalam hal ini Jalaluddin
Rahmat menjelaskan bahwa ruh adalah bagian yang paling terang, dan jasad atau
tubuh adalah bagian yang paling gelap, sedangkan nafs (jiwa) adalah
jembatan yang menghubungkan jism dan ruh. Setiap orang mempunyai nafs yang
berbeda. Ada nafs yang lebih dekat dengan ruh; dan ada nafs yang sangat jauh
dari ruh. Pada sebagian orang, nafsnya bersinar dan bergerak naik menuju wujud
yang hakiki, yakni Tuhan. Pada sebagian orang lagi nafsnya sangat gelap dan
bergerak turun menjauhi Tuhan, menuju ketiadaan. Nafs adalah barzakh yang
selalu berubah.
Jiwa (nafs)
manusia merupakan sesuatu yang dianggap bertanggung jawab terhadap segala
aktifitas manusia dan yang akan diberi pahala atau hukuman di akhirat. Jiwa lah
yang menerima pendidikan dan penyucian. Pendidikan dan penyuciannya dilakukan
dengan mengasah hati (qalb), karena hati merupakan potensi rasa dari
jiwa. Dialah yang mampu menangkap pancaran sinar-sinar ilahi. Dengan demikian,
kecerdasan spiritual dalam pandangan Islam terletak pada jiwa (nafs),
lebih khususnya pada hati (qalb) yang merupakan rajanya. Allah
menempatkan hati (qalb) sebagai kesadaran manusia, sehingga Allah
sendiri tidak mempedulikan tindakan yang kasat mata, bahkan Allah memaafkan
kesalahan yang tidak dengan sengaja disuarakan oleh hati nuraninya.
Untuk
menjadi cerdas secara spiritual manusia harus memiliki kemampuan untuk
mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang mengilahi dalam cara
dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati dan
beradaptasi. Hal ini sangat ditentukan oleh upaya pendidikan dan pensucian
hati, sehingga mampu memberikan nasihat dan arah tindakan serta cara
pengambilan keputusan seseorang. Untuk itu maka hati (qalbu) harus
senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang bermuatan
kebenaran dan kecintaan pada ilahi, karena ruh memang berada pada martabat
ilahi.
Sebagai
bentuk dari proses psikologis ketiga, kecerdasan spiritual berfungsi untuk
mengoptimalkan kinerja dua jenis kecerdasan sebelumnya, yaitu kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual bersifat menyatukan,
yaitu bahwa berfikir bukanlah semata-mata proses otak semata (IQ), tetapi juga
menggunakan emosi dan tubuh (EQ), serta dengan semangat, visi, harapan,
kesadaran akan makna dan nilai (SQ). Perbedaan pokok kecerdasan spiritual
dengan dua jenis kecerdasan sebelumnya adalah kinerjanya. Kecerdasan
intelektual (IQ) menghasilkan jenis berfikir seri, yaitu kinerja dari aktifitas
otak yang linier, logis dan rasional. Keunggulan berfikir seri dan kecerdasan
intelektual adalah keakuratan, ketepatan dan responsibilitasnya. Kecerdasan
emosional menghasilkan aktifitas berfikir asosiatif yang memiliki keunggulan
dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui
pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui
pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia juga memiliki kemampuan
untuk mengenali nuansa atau ambiguitas, yang tidak dimiliki oleh kecerdasan
intelektual. Tidak seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional ini
kurang akurat dan lambat dalam belajar serta cenderung terikat pada kebiasaan
atau pengalaman.
Dari dua
jenis kecerdasan tersebut kemudian ditemukanlah kecerdasan ketiga yaitu
kecerdasan spiritual yang menghasilkan cara berfikir unitif atau menyatukan,
yaitu menyatukan dua cara berfikir sebelumnya dan dengan kreatif menciptakan
dan mengubah aturan-aturan yang telah terbentuk dalam proses berfikir dan
mengarahkannya sesuai dengan kehendak kita. Kecerdasan spiritual memungkinkan
manusia untuk memaknai dan memberikan nilai terhadap segala pengalaman.
Dalam
pandangan Islam ketinggian tingkat spiritual tidak semata-mata dilihat dari
proses pemaknaan, melainkan terdapat suatu proses yang terus menerus yang
disebut sebagai proses penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan
pengendalian hawa nafsu (mujahadah). Kearifan untuk memaknai kehidupan
dalam konteks nilai yang lebih luas merupakan imbas dari proses tersebut dan
bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya atau puncak spiritualitasnya adalah
keridhaan dan cinta ilahi untuk dapat ma’rifat kepada Allah, sehingga dapat
kembali kepada-Nya dengan selamat. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Dari
gambaran diatas studi ini ditujukan untuk memberikan alternatif Islami terhadap
konsep kecerdasan spiritual. Tidak semua konsep Kecerdasan Spiritual ditolak,
melainkan perlu ditelaah secara kritis dalam perspektif spiritualitas Islam.
Kajian ini diharapkan mampu menggali konsep Islam dari pemikiran tokoh dalam
memberikan alternatif Islami terhadap segala kompleks permasalahan spiritual
dalam pengertian yang lebih luas. Dengan kajian ini peneliti berharap bahwa
kecerdasan spiritual dapat lebih mampu memberi kontribusi dalam kehidupan
beragama, khususnya bagi umat Islam.
Kenalkan agama Islam pada anak sejak ia dalam kandungan
BalasHapus