Kamis, 11 April 2013

KONSEP KECERDASAN SPRITUAL


KONSEP KECERDASAN SPRITUAL

Pola kehidupan yang dibingkai dalam kerangka moderanisme yang berlebihan (overdevelopment) semakin mengambil alih peran ketuhanan di muka bumi, sehingga menyingkirkan dimensi ilahi dalam kehidupan. Manusia menjadi sangat rentan dengan polusi jiwa atau krisis spiritual dalam menghadapi problematika eksistensial hidup. Manusia menjadi tidak cerdas dalam menyikapi segala permasalahan yang dihadapinya sehingga segala sesuatu yang ada dihadapannya menjadi tiada mempunyai makna dan arti, meskipun  secara ekonomi mereka berada pada taraf yang berlebihan. Krisis pemaknaan hidup dan kehidupan dan krisis kemanusiaan yang melanda manusia seperti di atas  membawa menusia kepada kegersangan spiritual atau ruhaniah dan melunturnya sikap-sikap humanis.
Kecerdasan spiritual bukan kecerdasan dalam menjalankan agama, karena penekannannya pada pemaknaan semata. Istilah spiritual tersebut tidaklah merujuk kepada sumber atau proses hidup (spirit, ruh).  Kecerdasan spiritual bukanlah untuk memenuhi kebutuhan ketuhanan atau ruhaniyah (spirit), dan bukan pula untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai yang merupakan suatu kebutuhan vital yang hanya dapat digali dari sumber wahyu ilahi. Kecerdasn spiritual ini lebih menekankan  pada upaya solutif terhadap segenap kompleks dan permasalahan eksistensialnya, tanpa harus berhubungan dengan agama atau nilai-nilai ilahiyah.
Agama dan spiritual adalah dua hal yang saling melengkapi pada dasarnya tiap agama monotheis mempunyai dua dimensi keberagaman, yaitu dimensi eksoteris yang berupa ritus-ritus lahiriyah dan rangkaian doktrin serta norma-norma yang didasarkan pada wahyu Tuhan  dan dimensi esoteris yang berupa pemaknaan atas hakikat simbol-symbol keagamaan atau asek-aspek rohaniyah (spiritualitas). Bahkan, dimensi esoteric tersebut lah yang merupakan jantung agama, karena agama merupakan suatu proses pendakian spiritual untuk kembali kepada kesejatian. Kematangan beragama eksoterik dengan ditunjang kematangan spiritualitas (esoterik) akan membawa pengaruh kepada pandangan menusia terhadap manusia dalam kehidupan, sehingga mampu menampilkan sosok yang arif dalam menyikapi segala problematika kehidupan dunia. 
Bagi umat Islam ditemukannya kecerdasan spiritual setidak-tidaknya  mampu berkarya khazanah berfikir dan memberikan motivasi untuk mengaktualitaskan ajaran Islam secara nyata (applicable). Disisi lain hal ini juga merupakan pintu pembuka kesadaran umat beragama, Islam khususnya, bahwa banyak pemeluk agama yang hanya terpesona pada masalah ritual agama dan kurang mempraktikannya dalam kehidupan keseharian. Beragama, sehingga keberagamannya tidak membawanya kepada kecerdasan spiritual dan ruhaniah.
Danah Zohar dan Ian Marshall menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Namun spiritualitas dalam konsepnya itu terbatas pada dorongan kebutuhan untuk mengajukan pertanyaan “mendasar” atau “pokok”, seperti : mengapa saya dilahirkan?, apa makna hidup saya?, buat apa saya melanjutkan hidup saat saya lelah, depresi atau merasa terkalahkan?, apakah yang membuat semua ini berharga?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat manusia merindukan untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang diperbuat dan dialami, kerinduan untuk melihat hidup dalam konteks yang lebih lapang dan bermakna serta kerinduan akan sesuatu yang bisa dicapai, sesuatu yang mampu membawanya melampaui diri dan keadaan saat ini, sesuatu yang membuat manusia dan perilakunya menjadi bermakna.
Kerangka berfikir yang mendasari teori spiritualitas Islam adalah visi filosofis Islam tentang manusia. Visi fiolosofis tersebut adalah sebagai berikut manusia adalah makhluk Allah yang memiliki bentuk fisik biologis yang paling sempurna
  1. Manusia memiliki fitrah religius
  2. Manusia adalah khalifah Allah dan hamba-Nya
  3. Manusia adalah makhluk multidimensional yang secara psikologis memiliki hati (al-qalb), akal (al-aql), jiwa (an-nafs), dan roh (al-ruh)
Dengan potensi-potensi tersebut maka untuk menjadi pribadi muslim yang cerdas secara spiritual dibutuhkan beberapa elemen, antara lain :
  1. Terwujudnya keseimbangan (equilibrium) antara kebutuhan fisik-biologis dengan mental religius
  2. Terhindarnya individu dari penyakit (symptom) hati dan jiwa
  3. Terciptanya ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup
Untuk mencapai ketiga hal tersebut maka al-aql dan al-qalb hendaknya diarahkan kepada dimensi ruhaniah (mencapai sifat-sifat ilahiah atau al-nafs al-muthma’innah) dengan moralitas terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) sebagai indikatornya, dan menghindarkan diri dari belenggu hawa nafsu yang secara naluriah memiliki tendensi pada dorongan agresive dan destructive, dengan moralitas tercela (al-akhlaq al-madzmumah) sebagai indikatornya. Di sini diri manusia ditingkatkan kedudukannya, sehingga mencapai ketenangan dan kesempurnaan. Inilah proses perjuangan hidup manusia yang sejati atau seperti yang disebutkan nabi sebagai jihad yang paling besar (al-jihad al-akbar).
Untuk menjadi muslim yang cerdas secara spiritual diperlukan adanya visi dan persepsi yang jelas bahwa hidup merupakan amanat dan merupakan jembatan emas menuju keridhaan Allah dan menciptakan keyakinan bahwa mendapatkan karunia dan keridhaan Allah merupakan tujuan hidup. Kesadaran bahwa manusia adalah milik dan dari Allah serta akan kembali lagi menuju Allah (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) perlu ditanamkan dalam sanubari yang paling dalam. Dengan kesadaran ini manusia akan merasakan kehadiran Allah, merindukan perjumpaan dengan Allah, berbuat, bersikap dan bernafas karena Allah swt semata-mata.
Dengan mengerjakan misi hidupnya yang sesuai dengan fitrahnya atau qudrah dirinya maka hati (qalb) manusia terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika hati (qalb) selamat (qalbun salim), ia akan ’melihat’ Tuhannya. Al-Ghazali menjelaskan bahwa satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah hati (qalb) nya. Qalb (hati) adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi) yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk ruhani.
Konsep spiritualitas Islam pada dasarnya merupakan penjelasan tentang hubungan hamba dengan dzat Yang Maha Sejati, dengan melalui pendakian-pendakian spiritual yang terus-menerus menuju asal segala muasal. Kecerdasan spiritualitas seperti ini merupakan kemampuan manusia untuk mengenali potensi fitrah dalam dirinya. Fitrah ini adalah akar ilahiyah (original road) yang Allah swt berikan sejak ditiupkan ruh ke dalam rahim ibu. Dengan kesadaran yang semakin meningkat ini, akhirnya manusia visi hidup dan pemaknaan kehidupan terhadap dunia yang penuh arti dan pengharapan, karena perjalanan kehidupan sejati belum berakhir.
Dengan demikian adalah sangat tidak mungkin orang yang tidak mengakui adanya Tuhan dapat menjadi cerdas secara spiritual. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional pada dasarnya hanya menyoroti hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas) yang berdimensi duniawi, sedangkan hal-hal yang terkait dengan Tuhan (hablun minallah) yang berdimensi ukhrowi belum terjelaskan. Untuk menjelaskannya secara tuntas diperlukan kecerdasan spiritual karenanya kecerdasan spiritual lah yang mampu mengoptimalkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seseorang. Dengan kecerdasan spiritual manusia mampu berfikir secara kreatif, berwawasan ke depan dan mampu membuat aturan-aturan. Untuk dapat mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara optimal langkah yang tepat adalah dengan memulai mengasah kecerdasan spiritual. Meskipun demikian kecerdesan spiritual semata-mata tidak akan membawa kepada pencerahan yang sejati jika nilai-nilai luhur ilahiyah yang dikemas dalam ajaran agama diabaikan atau bahkan ditinggalkan.
Al-Qur’an menggambarkan struktur manusia yang terdiri dari : ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs) dan jasad atau tubuh (al-jism). Dengan struktur yang demikian itu manusia mempunyai potensi-potensi spiritual untuk menjalin hubungan dengan Tuhannya, melalui peningkatan dan penyempurnaan. Dalam hal ini Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa ruh adalah bagian yang paling terang, dan jasad atau tubuh adalah bagian yang paling gelap, sedangkan nafs (jiwa) adalah jembatan yang menghubungkan jism dan ruh. Setiap orang mempunyai nafs yang berbeda. Ada nafs yang lebih dekat dengan ruh; dan ada nafs yang sangat jauh dari ruh. Pada sebagian orang, nafsnya bersinar dan bergerak naik menuju wujud yang hakiki, yakni Tuhan. Pada sebagian orang lagi nafsnya sangat gelap dan bergerak turun menjauhi Tuhan, menuju ketiadaan. Nafs adalah barzakh yang selalu berubah.
Jiwa (nafs) manusia merupakan sesuatu yang dianggap bertanggung jawab terhadap segala aktifitas manusia dan yang akan diberi pahala atau hukuman di akhirat. Jiwa lah yang menerima pendidikan dan penyucian. Pendidikan dan penyuciannya dilakukan dengan mengasah hati (qalb), karena hati merupakan potensi rasa dari jiwa. Dialah yang mampu menangkap pancaran sinar-sinar ilahi. Dengan demikian, kecerdasan spiritual dalam pandangan Islam terletak pada jiwa (nafs), lebih khususnya pada hati (qalb) yang merupakan rajanya. Allah menempatkan hati (qalb) sebagai kesadaran manusia, sehingga Allah sendiri tidak mempedulikan tindakan yang kasat mata, bahkan Allah memaafkan kesalahan yang tidak dengan sengaja disuarakan oleh hati nuraninya.
Untuk menjadi cerdas secara spiritual manusia harus memiliki kemampuan untuk mendengarkan hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang mengilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan, berempati dan beradaptasi. Hal ini sangat ditentukan oleh upaya pendidikan dan pensucian hati, sehingga mampu memberikan nasihat dan arah tindakan serta cara pengambilan keputusan seseorang. Untuk itu maka hati (qalbu) harus senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang bermuatan kebenaran dan kecintaan pada ilahi, karena ruh memang berada pada martabat ilahi.
Sebagai bentuk dari proses psikologis ketiga, kecerdasan spiritual berfungsi untuk mengoptimalkan kinerja dua jenis kecerdasan sebelumnya, yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan spiritual bersifat menyatukan, yaitu bahwa berfikir bukanlah semata-mata proses otak semata (IQ), tetapi juga menggunakan emosi dan tubuh (EQ), serta dengan semangat, visi, harapan, kesadaran akan makna dan nilai (SQ). Perbedaan pokok kecerdasan spiritual dengan dua jenis kecerdasan sebelumnya adalah kinerjanya. Kecerdasan intelektual (IQ) menghasilkan jenis berfikir seri, yaitu kinerja dari aktifitas otak yang linier, logis dan rasional. Keunggulan berfikir seri dan kecerdasan intelektual adalah keakuratan, ketepatan dan responsibilitasnya. Kecerdasan emosional menghasilkan aktifitas berfikir asosiatif yang memiliki keunggulan dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia juga memiliki kemampuan untuk mengenali nuansa atau ambiguitas, yang tidak dimiliki oleh kecerdasan intelektual. Tidak seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional ini kurang akurat dan lambat dalam belajar serta cenderung terikat pada kebiasaan atau pengalaman.
Dari dua jenis kecerdasan tersebut kemudian ditemukanlah kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan spiritual yang menghasilkan cara berfikir unitif atau menyatukan, yaitu menyatukan dua cara berfikir sebelumnya dan dengan kreatif menciptakan dan mengubah aturan-aturan yang telah terbentuk dalam proses berfikir dan mengarahkannya sesuai dengan kehendak kita. Kecerdasan spiritual memungkinkan manusia untuk memaknai dan memberikan nilai terhadap segala pengalaman.

Dalam pandangan Islam ketinggian tingkat spiritual tidak semata-mata dilihat dari proses pemaknaan, melainkan terdapat suatu proses yang terus menerus yang disebut sebagai proses penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan pengendalian hawa nafsu (mujahadah). Kearifan untuk memaknai kehidupan dalam konteks nilai yang lebih luas merupakan imbas dari proses tersebut dan bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya atau puncak spiritualitasnya adalah keridhaan dan cinta ilahi untuk dapat ma’rifat kepada Allah, sehingga dapat kembali kepada-Nya dengan selamat. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
Dari gambaran diatas studi ini ditujukan untuk memberikan alternatif Islami terhadap konsep kecerdasan spiritual. Tidak semua konsep Kecerdasan Spiritual ditolak, melainkan perlu ditelaah secara kritis dalam perspektif spiritualitas Islam. Kajian ini diharapkan mampu menggali konsep Islam dari pemikiran tokoh dalam memberikan alternatif Islami terhadap segala kompleks permasalahan spiritual dalam pengertian yang lebih luas. Dengan kajian ini peneliti berharap bahwa kecerdasan spiritual dapat lebih mampu memberi kontribusi dalam kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam.  

1 komentar: